Tradisi Meredam Pahitnya Kopi
Kopi dan gula terekam larut dalam sejarah peradaban negeri ini. Pada masa lalu, ketika pengetahuan dan teknologi belum meluas, masyarakat mencari cara menikmati kopi. Pahitnya minuman hitam itu diredam dengan beragam siasat.
”Mari dicicipi. Kopinya tebal, tetapi terasa ada sedikit manis alami, kan. Lebih segar,” ujar Rosmina (35), warga Desa Jambi Tulo, Kecamatan Maro Sebo, Muaro Jambi, Jambi, Kamis (10/5/2017).
Ia menuangkan seduhannya ke gelas-gelas, lalu membagi-bagikannya kepada semua tamu. Tebersit rasa penasaran, para tamu segera menyeruput minuman yang disebut-sebut spesial itu.
Minuman kopi ini memang spesial. Sebab, untuk menyeduhnya, mereka harus melewati tradisi menderes batang pohon enau atau nira. Selang satu atau dua jam, tertampunglah hasil tetesan air dari pohon itu ke dalam sebuah wadah. Sekilas lebih tampak seperti air kelapa. Sewaktu dicicip rasa manisnya segar dan alami. Namun, air tak segera diminum.
Rosmina memanaskan air nira terlebih dahulu dalam ceret hingga mendidih. Air itulah yang digunakan untuk menyeduh bubuk kopi. Rasa kopi menjadi sedikit manis. Mereka menyebut minuman itu dengan nama kopi tuak.
Dalam bahasa Melayu setempat, tuak berarti nira. Minuman ini tidak memabukkan sebagaimana air tuak yang menjadi minuman tradisi di Sumatera Utara. Nira tidak sempat mengalami fermentasi, tetapi dikonsumsi tidak lama setelah dideres airnya.
Dibandingkan dengan gula aren atau gula merah, manisnya air nira memang lebih menyegarkan. Keberadaan batang pohonnya yang masih banyak tersebar di desa itu tak menyulitkan warga untuk mengolahnya. ”Setiap waktu dibutuhkan, airnya bisa langsung disadap dari pohon,” lanjutnya. Kerap kali pada waktu panen raya padi atau acara pesta di kampung, kopi tuak menjadi hidangan minuman utama. Belum lengkap rasanya jika kopi tuak belum tersaji di atas meja.
Di Sumatera, air nira dan gula aren dimanfaatkan sebagai bahan alami pemanis kopi, jauh sebelum masuknya gula pasir. Saat ke Sumatera pada abad ke-13, Marcopolo menuliskan catatannya tentang tanaman enau atau pohon nira yang banyak tumbuh di dataran rendah pulau itu. Lewat catatan yang disusun Anthony Reid dalam buku Sumatera Tempo Doeloe, tahun 1995, mengenai pohon bercabang empat.
Masyarakat di Aceh meletakkan tempayantempayan di samping cabang-cabang pohon ini. Dalam sehari semalam, tempayan itu akan terisi. Minuman yang dihasilkan dari situ sangat enak sekaligus sebagai obat yang serbaguna. Pohon yang dimaksud ternyata nira.
Setelah delapan abad berlalu, kini air dari sadapan pohon nira masih dimanfaatkan masyarakat. Bahkan, nira dan kopi juga lekat di masyarakat adat Osing Banyuwangi. Di Desa Banjar, Kecamatan Licin, Kabupaten Banyuwangi, masyarakat Osing menikmati kopi dengan potongan gula nira.
Untuk dinikmati bersama kopi, nira diolah secara khusus. Air sadapannya dimasak dalam kuali besar di atas tungku kayu hingga mendidih. Setelah mengental, nira yang disebut dengan ketek banyu atau ketek semut ini dicetak bulat lalu disajikan sebagai pelengkap minum kopi. ”Kopinya kopi pahit robusta yang dipetik di kebun dan diolah petani. Cara menikmatinya cukup dengan menggigit gula dan menyeruput kopinya,” jelas Muhammad Lutfi, pamong dan warga Banyuwangi.
Minuman ini biasanya ada pada acara tertentu seperti pesta perayaan sadap nira. Seusai perayaan, warga bisa ngopi sambil menikmati sejumlah atraksi kesenian desa. Saat menyuguhkan kopi, warga akan mengeluarkan cangkir kopi kecil dan tipis yang menjadi warisan keluarga. Cangkir itu hanya dikeluarkan saat tertentu, seperti saat menerima tamu penting.
Nira dan kopi memang menjadi kekayaan kebun di desa kaki Gunung Ijen. Nira menjadi bagian dari kekayaan leluhur, sedangkan kopi adalah tanaman yang awalnya dibawa Belanda ke Ijen pada abad ke-19.
Perayaan sadap nira di masyarakat adat Osing juga memiliki keunikan dan mengandung nilai mistis tersendiri. Saat menyadap pohon aren, warga Osing mengenakan baju hitam sembari menyanyikan kidung dan mantra khusus. Dengan memakai baju hitam dan bernyanyi, pohon aren dipercaya bisa meneteskan nira dengan deras.
Cara unik dilakukan pula oleh masyarakat di Kerinci dan Sumatera Barat. Minuman kopi mereka nikmati dari hasil rebusan daun kopi yang telah layu dan kering. Rasanya tak sepahit minuman kopi umumnya. Mungkin lebih tepat disebut teh daun kopi atau disebut kawa.
Sebagian besar orang menikmati kawa dalam wadah tempurung kelapa. Diminum saat masih hangat, airnya begitu menyegarkan. ”Badan pun jadi terasa lebih bersemangat,” kata Bulyadi, warga Keliling Danau, Kerinci.
Agar lebih manis, mereka menambahkan gula aren pada minuman. Bongkahan gula dimasukkan ke tempurung kelapa. Didiamkan sesaat atau diputar-putar tempurung agar gulanya lumer dan minuman terasa lebih manis.
Belakangan, budidaya tebu berkembang di Nusantara. Produksi gula pasir pun melimpah. Pasokannya yang meluas hingga pelosok mulai menggantikan gula aren dan air nira.
Sebagian warga di pedalaman Dataran Tinggi Gayo kini memanfaatkannya sebagai pelengkap seduhan kopi. Tebu tidak hanya diolah menjadi gula pasir, tetapi juga gula merah.
Di Jawa, gula menjadi bagian tak terpisahkan dari kopi. Tradisi kopi yang dimiliki Surabaya adalah kopi tubruk. Kopi biasanya disajikan di gelas belimbing dengan gula yang sudah tercampur di dalamnya. Sebelum muncul warkop yang menetap, mengopi jadi bagian dari cangkrukan atau nongkrong. Pembeli duduk mengelilingi lapak pikul minuman kopi sambil membicarakan masalah harian. Lapak menyediakan penganan tradisional, seperti grobyak, jemblem, bledus, lopis, atau telek kucing.
Mengopi bagi warga Surabaya diyakini sudah dikenal sejak awal abad ke-20. Bahkan, kopi bubuk yang dijual eceran dikenal sejak 1930 dengan nama Hap Hoo Tjan. Kopi ini diusahakan sampai 1983 oleh Goe Soe Loet, ayahanda dari para pendiri usaha kopi Kapal Api.
Dari buku telepon terbitan tahun 1930, Dukut Imam Widodo, penulis buku Monggo Dipun Badhog, mencatat ada sejumlah kafe ngopi di Surabaya. Kafe itu di antaranya Café De Karsebom di Jalan Gemblongan, Café Biljart De Kroom di Jalan Van Deventerlaan, Café Neutraal di Jalan Lange Gattottan, dan Café Biljart Tonny di Jalan Baliwerti. Sayang kedai-kedai kopi itu tidak ada lagi jejaknya di masa kini.
Kedai kopi sekaligus warung makan yang diyakini sudah ada sejak 1950 dan dikelola oleh warga non-keturunan Belanda atau Eropa antara lain Warkop Sarkam di Jalan Nyamplungan dan warkop di Gang Pabean Kulon V yang keduanya berada di dalam Kawasan Wisata Religi Sunan Ampel. Selain itu, warung makan Cak Mis di Jalan Bintoro yang dikenal karena nama-nama unik untuk berbagai makanan, minuman, dan kudapan.
Hormati kopi
Di sentra pengolahan kopi Ulee Kareng, Banda Aceh, kopi yang baru selesai disangrai dipindahkan ke dalam wadah. Dalam kondisi menguar panasnya, biji kopi diaduk dengan mentega dan beberapa butir telur.
Penambahan bahan-bahan ini menghasilkan minuman kopi yang gurih dan tebal. ”Banyak penggemar kopi suka dengan rasa kopi gurih seperti ini. Yang memesan pun dari mana-mana,” kata Ida Arifin, pemilik usaha pengolahan kopi di Ulee Kareng.
Namun, ada pula yang menyajikan kopi pahit sebagai suguhan. Di Colol, Manggarai Timur, Flores, misalnya, kopi disajikan pahit. Sebutannya adalah kopacol atau kopi pahit colol. Warga setempat terbiasa menikmati kopi tanpa gula. Rasa pahit pasti, apalagi yang disajikan jenis robusta.
Kopacol disajikan lengkap dengan kudapan nasi kering yang digoreng. Menurut Agustinus Songsi, petani kopi Colol, tradisi minum kopi pahit berkembang bukan karena warga sulit mendapatkan gula. ”Itu sudah tradisi sejak nenek moyang kami. Ini bentuk penghargaan kami terhadap kopi,” ujarnya.
Kopi-kopi tradisional itu kini tetap bertahan di tengah ramainya tren mencicip rasa kopi asli. Keragaman kopi tradisional itu bahkan menjadi warna kuliner Nusantara. Kopi pahit, manis, atau gurih tak jadi masalah. Sebab, soal rasa, semuanya akan berpulang pada masing-masing selera.