Jasa Kentang Orek dan Sambal Roa Menuju Puncak Dunia
Oleh
Tatang Mulyana Sinaga
·5 menit baca
Bangsa Indonesia patut berbangga saat dua perempuan pendaki, Mathilda Dwi Lestari (24) dan Fransisca Dimitri Inkiriwang (24), mengibarkan bendera Merah Putih di puncak Everest (8.848 meter di atas permukaan laut) pada Kamis (17/5/2018). Pencapaian itu menuntaskan misi tim Women of Indonesia’s Seven Summits Expedition Mahitala Universitas Katolik Parahyangan atau Wissemu mendaki tujuh puncak dunia sejak Agustus 2014. Di balik kesuksesan itu terselip ”jasa” makanan khas Indonesia, kentang orek dan sambal roa, yang mengantarkan mereka ke puncak tertinggi dunia tersebut.
Cerita itu diutarakan Nadya Pattiasina, Koordinator Tim Pendukung Wissemu, di Kota Bandung, Jawa Barat, Jumat (18/5/2018). Bersama tiga orang lainnya, Nadya memberikan dukungan langsung kepada Mathilda dan Fransisca saat keduanya beristirahat di Desa Zhaxizongxiang, Tibet, Selasa (8/5/2018) malam.
Kedatangan mereka malam itu lebih awal dari yang direncanakan. Hal itu membuat Mathilda dan Fransisca kaget karena mereka sedang beristirahat di hotel setelah melakukan aklimatisasi dari Everest Base Camp (EBC) pada ketinggian 5.400 mdpl hingga Camp 1 (7.050 mdpl). Keduanya berteriak kegirangan setelah hampir sebulan tidak bersosialisasi dengan orang Indonesia.
”Mereka senang sekali kami datang. Mereka bilang akhirnya bisa mengobrol pakai bahasa Indonesia setelah hampir satu bulan di sana,” ujar Nadya.
Setelah saling bertukar cerita dan memberikan motivasi, fokus Mathilda dan Fransisca beralih ke barang-barang yang dibawa Nadya dan kawan-kawan. Sebab, sebelumnya mereka sudah meminta untuk dibawakan beberapa barang, seperti makanan, pakaian, dan perawatan tubuh.
Barang pesanan itu berada di tas duffle berwarna kuning. Ada beberapa novel juga di dalamnya. Mereka perlu membaca untuk melawan kebosanan saat menunggu cuaca terbaik untuk mendaki. Total berat tas itu 15 kilogram.
Keduanya mempunyai selera bacaan novel berbeda. Mathilda senang membaca novel karya Dewi Lestari, sementara Fransisca mengagumi karya Pramoedya Ananta Toer. Namun, untuk urusan makan, mereka sama lihainya. Tiga stoples kentang orek ludes disikat malam itu.
”Sebenarnya mereka punya pesanan masing-masing. Mathilda pesan kentang orek, Fransisca minta dibawakan sambal roa. Namun, mereka eksekusi bareng,” ujarnya.
Nadya mengatakan, keduanya sangat lahap menyantap makanan tersebut. Sebab, selama hampir sebulan di Tibet, mereka belum menemukan makanan yang cocok di lidah.
”Wajar saja karena kebanyakan makanan di sana rasanya kurang tajam. Berbeda dengan masakan Indonesia, terutama untuk yang pedas,” ujarnya.
Setelah menunggu beberapa hari, Mathilda dan Fransisca memulai pendakian pada 11 Mei 2018. Dalam cuaca cerah, mereka mendaki bersama beberapa pendaki asal Jepang dan tiga pemandu.
Perjalanan dimulai dari EBC menuju Intermediate Camp (5.800 mdpl). Kemudian bergerak menuju Advanced Base Camp (ABC) di ketinggian 6.400 mdpl.
Setelah beristirahat sehari di ABC, tim bergerak menuju Camp 1 dan keesokan harinya melanjutkan perjalanan ke Camp 2 (7.800 mdpl). Tim tiba di Camp 3 (8.271 mdpl) pada 16 Mei 2018.
Camp 3 dinamakan zona kematian. Ketinggiannya yang ekstrem membuat udara tipis, hanya 30 persen dari udara di permukaan laut. Lebih dari 200 pendaki tewas di zona itu.
Tanpa bantuan oksigen, manusia hanya dapat bertahan beberapa menit di zona itu. Banyak jenazah pendaki ditinggalkan karena sulit dievakuasi untuk dibawa turun. Pendaki dianjurkan tidak berada di zona itu lebih dari 24 jam.
Mathilda dan Fransisca sukses melewati Camp 3 tersebut. Mereka tiba di puncak Everest, Kamis (17/5/2018) pukul 05.50 waktu setempat atau pukul 07.05 WIB. Mereka langsung mengirim pesan kepada tim pendukung di Bandung melalui perangkat global positioning system (GPS).
Mereka sampai di puncak dalam keadaan sehat. Keduanya sah menjadi perempuan pertama Indonesia yang mencapai tujuh puncak dunia.
Sebelum mencapai puncak Everest, Mathilda dan Fransisca telah mencapai enam puncak dunia lainnya. Pendakian pertama dilakukan di Carstensz Pyramid (4.884 mdpl) di Indonesia (13 Agustus 2014). Selanjutnya satu per satu puncak dunia ditapaki. Ada Elbrus (5.642 mdpl) di Rusia (15 Mei 2015), Aconcagua (6.962 mdpl) di Argentina (31 Januari 2016), serta Kilimanjaro (5.895 mdpl) di Tanzania (24 Mei 2015).
Mereka tiba di puncak Vinson Massif (4.892 mdpl) di Antartika (5 Januari 2017), serta Denali (6.190 mdpl) di Alaska, Amerika Serikat (1 Juli 2017).
Pendakian menuju puncak Everest dimulai pada 17 April 2018. Pegunungan Everest terletak di Nepal bagian selatan serta China bagian utara.
Belasan anggota Mahitala di Bandung memantau dengan intens melalui GPS saat Mathilda dan Fransisca mengirim pesan akan bertolak dari Camp 3 menuju puncak Everest, Kamis pukul 01.15 WIB. Rangkaian kain persegi berwarna-warni pada seutas tali menghiasi ruangan Sekretariat Mahitala di Kampus Unpar.
Kain itu merupakan bendera doa khas Tibet yang telah dipasang sejak Rabu (16/5/2018). Pemasangan bendera itu pertanda perjuangan pamungkas Mathilda dan Fransisca mendaki puncak Everest segera dimulai.
”Bendera doa itu ibarat simbol doa dukungan agar pendakian berjalan lancar. Sebab, sebelumnya Mathilda dan Fransisca belum pernah mencapai ketinggian di atas 8.000 mdpl,” ujar Nadya.
Dari pesan melalui GPS, keduanya menyampaikan terima kasih kepada masyarakat Indonesia yang telah mendoakan. Pencapaian ini dipersembahkan untuk persatuan Indonesia.
Nadya mengatakan, saat berada di Advanced Base Camp, Mathilda dan Fransisca mendapat informasi terkait aksi teror di Surabaya, Minggu (13/5/2018). Kejadian itu membuat keduanya sedih. Teror itu melukai persatuan dan kebersamaan yang jadi ciri khas bangsa ini.
Baik Mathilda maupun Fransisca merasakan indahnya persatuan dan kerja sama. Keberhasilan mereka merupakan buah kerja kolektif, melibatkan dukungan banyak orang, dengan latar belakang suku dan agama yang berbeda.
”Selain itu, pencapaian ini juga diharapkan menjadi momentum untuk bangkit mengingat pada 20 Mei merupakan Hari Kebangkitan Nasional,” ujar Nadya.
Rektor Unpar Mangadar Situmorang menyatakan bangga atas kesuksesan Mathilda dan Fransisca. Menurut dia, pencapaian itu tidak terlepas dari konsistensi daya juang dalam mencapai tujuan.
Mangadar mengatakan, pihaknya mendukung kedua mahasiswa angkatan 2011 Jurusan Hubungan Internasional itu menyelesaikan misi Wissemu. Kampus juga memberikan kelonggaran kepada keduanya dalam mengajukan cuti kuliah.
”Masih ada puncak yang harus didaki. Mereka sekarang sudah memasuki semester akhir dan sedang menyelesaikan skripsi. Sesuai aturan, batas maksimal kuliah adalah tujuh tahun,” ujarnya.
Perjuangan tim Wissemu selama empat tahun mencapai tujuh puncak dunia tuntas sudah. Sampai kapan pun, pengalaman luar biasa itu akan tetap awet dalam ingatan Mathilda dan Fransisca. Mungkin mereka juga tak akan lupa saat melahap kentang orek dan sambal roa sebelum menuju puncak dunia.