Status sebagai world heritage site yang diberikan Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan (UNESCO) Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 2008 kepada George Town, ibu kota Penang, Malaysia, membuat lokasi tersebut menjadi salah satu incaran wisatawan. Keragaman budaya, dengan wujudnya pada kekayaan arsitektur, kuliner, dan perayaan warga, menambah khazanah pulau tersebut yang oleh sebagian orang Indonesia dimafhumi sebagai tempat beroleh layanan medis secara relatif murah dan berkualitas.
”Selamat menikmati makan di Penang. Sebelum pulang, sekurang-kurangnya (bobot badan) tambah 1 kilogram. Kalau (bobot badan) tidak tambah, berarti Anda tidak datang ke Penang,” kata Lim Guan Eng, Chief Minister of Penang, dalam sambutannya di Penang International Airport, Minggu (25/3/2018).
Hari itu, Eng menyambut sejumlah perwakilan dari maskapai penerbangan berbiaya rendah (LCC) Citilink, belasan jurnalis, dan pengisi konten di sejumlah pelantar media sosial dari Indonesia yang memulai penerbangan langsung dari Terminal 3 Bandara Internasional Soekarno-Hatta menuju Penang. Eng dalam sejumlah bagian sambutannya membanggakan status dari UNESCO dan makanan enak dibandingkan dengan tempat lain sebagai daya tarik bagi wisatawan.
Klaim Eng rupanya tidak terlalu berlebihan. Nasi hainan olahan kaum peranakan China (masakan Baba-Nyonya), nasi kandar yang dimasak kaum keturunan India Muslim, dan teh tarik dalam sejumlah kedai yang buka 24 jam adalah sebagian di antara sajian kuliner pemanja lidah.
Harganya juga relatif murah. Teh tarik, misalnya. Lima gelas teh tarik hangat yang disajikan dalam kedai 24 jam dijual tak lebih dari 7,5 ringgit Malaysia (sekitar Rp 25.000).
Kedai-kedai yang sebagian buka 24 jam itu juga terlihat tak sepi pengunjung.
Artefak budaya
Menyusuri George Town, kita memang seolah dilempar ke masa lalu. Tepatnya pada masa pendudukan Inggris di abad ke-18.
Bangunan dan rumah-rumah tua serta lokasi-lokasi bersejarah masih dipertahankan serta dipergunakan relatif baik untuk sejumlah kegiatan komersial, seperti kedai cendera mata dan salon. Seperti dikutip dari laman whc.unesco.org, George Town bersama-sama Melaka beroleh status sebagai world heritage berdasarkan tiga kriteria.
Masing-masing sebagai representasi luar biasa kota dagang multikultur di belahan bumi Timur dan Asia Tenggara yang dibentuk dari perdagangan dan pertukaran antara budaya Melayu, China, dan India serta tiga kali masa kolonialisasi bangsa-bangsa Eropa. Selain itu, Melaka dan George Towm merefleksikan pengaruh-pengaruh yang beragam serta menciptakan arsitektur, budaya, dan pemandangan kota yang tiada bandingannya di Asia Tenggara atau di mana pun di bumi bagian Timur.
Ini, misalnya, terlihat dengan keberadaan salah satu bangunan yang dituliskan dalam papan penandanya sebagai ”Jejak Warisan Sun Yat Sen”. Tokoh ini merupakan presiden pertama dan pendiri Republik Rakyat China.
Ada pula Masjid Melayu (Jamek) Lebuh Acheh Pulau Pinang. Masjid ini didirikan pada 1808 dan merupakan wakaf dari Tunku Syed Hussein Idid yang merupakan saudagar asal Aceh.
Obyek-obyek wisata itu sebagian di antaranya dikelola dengan profesional dan menyajikan edukasi bagi pengunjungnya. Ini seperti dilakukan Hairthiyka (25) yang baru empat tahun bekerja di Chocolate & Coffee Museum Penang.
Selain beragam jenis dan rasa cokelat serta kopi yang dijajakan, Thiyka yang merupakan gadis keturunan India fasih menjelaskan proses pembuatan cokelat sejak dari buahnya. Penjelasan itu semakin lengkap bagi para pengunjung karena dilengkapi dengan alat peraga, sebagian berupa mesin pengaduk adonan cokelat yang mekanisme kerjanya langsung bisa disaksikan.
Pengalaman unik
Menyaksikan keragaman hutan hujan tropis di Bukit Bendera atau Penang Hill adalah pengalaman unik lain yang juga bisa dilakukan selama berkunjung di Penang. Sebuah kereta yang ditarik menjadi moda transportasi bagi para pengunjung untuk menuju ke puncak dan kembali ke titik berangkat di dataran rendah.
Daftar kunjungan yang rapat membuat rencana melihat keragaman vegetasi di ketinggian struktur yang dikelola The Habitat Penang Hill terpaksa dilakukan dalam pekatnya malam. Tentu saja kita hanya bisa merasakan semilir angin dan kerlap-kerlip lampu kota dari kejauhan dan rimbun pepohonan.
Kesempatan lain yang juga tidak boleh dilewatkan adalah merasakan aksi berjalan di luar Gedung Komtar bersama The Top pada ketinggian sekitar 239 meter di atas permukaan tanah. Adrenalin mendesir deras saat berjalan di atas struktur besi, sebagian berupa titian, yang langsung berhadapan dengan udara terbuka Penang.
Gedung-gedung lain, apalagi kendaraan dan manusia, di bagian bawah Gedung Komtar pada ketinggian itu telihat sangat kecil. Ini menambahkan sensasi tersendiri yang merupakan semacam campuran antara rasa kebebasan dan kengerian.
Menjelang bagian akhir perjalanan di dinding gedung, dengan peralatan keselamatan lengkap itu, kita akan ditantang melakukan aksi meluncur bebas dari ketinggian dengan sudut tertentu (flying fox). Sebuah tantangan yang mesti dituntaskan, mengingat itulah satu-satunya cara untuk menuju garis finis.