Debat Kedua Pilkada Gubernur NTT Jauh dari Harapan
Oleh
Kornelis Kewa Ama
·3 menit baca
KOMPAS/KORNELIS KEWA AMA
Empat pasangan calon gubernur NTT, kecuali Marianus Sae yang sedang dalam tahanan KPK, yang hadir dalam debat terbuka, 8 Mei 2018, mengecewakan masyarakat NTT. Tidak ada calon yang menyampaikan program kerja secara serius untuk meyakinkan pemilih.
KUPANG, KOMPAS — Debat kedua, bagi empat pasangan calon gubernur Nusa Tenggara Timur, Selasa (8/5/2018) lalu, jauh dari harapan masyarakat. Gaya debat seperti itu mengindikasikan kecemasan, gubernur yang terpilih nantinya belum berkemampuan memimpin NTT secara konsisten. Keempat pasangan calon dinilai tidak menguasai materi debat secara tepat. Sejumlah istilah yang dipakai untuk bertanya dan menjawab tidak sesuai dengan ketentuan.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Nusa Cendana Kupang, Johanes Tuba Helan, Kamis (10/5/2018), mengatakan, masyarakat NTT sulit mendapatkan gambaran yang jelas tentang visi dan misi keempat pasangan calon mengingat keempat pasangan tidak tampil sebagai calon yang menguasai birokrasi dan hukum, terutama yang terkait korupsi.
Saat debat berlangsung, ujar Tuba Helan, banyak warga NTT kecewa, kemudian berpindah saluran televisi. Mereka lebih suka menonton debat calon gubernur dari daerah lain, yang disiarkan langsung televisi swasta lain, pada saat yang sama.
Dalam sesi tanya jawab antarpasangan calon, tampak tidak ada pasangan calon yang konsisten memaparkan pertanyaan dan jawaban yang berbobot serta mudah dipahami pemirsa. Mereka cenderung menggunakan istilah-istilah yang sulit dipahami.
”Mungkin para pasangan calon kurang memahami materi. Ada yang menggunakan istilah malapraktik ditujukan kepada pasangan lain. Sebenarnya bukan malapraktik karena malapraktik hanya ada di istilah medis. Sebenarnya malaadministrasi. Saya harap pasangan yang ditanya juga paham tentang malapraktik, dan meluruskan, tetapi sama-sama menggunakan istilah malapraktik. Tidak ada istilah malapraktik dalam birokrasi pemerintahan, yang ada hanya malaadministrasi,” kata Tuba Helan.
Malaadministrasi itu antara lain pungutan liar, pelayanan berlarut-larut, menyalahgunakan jabatan dan kewenangan, pemberian gratifikasi, menerima sogok, uang pelicin, dan seterusnya. Ini tidak boleh disebut malapraktik.
Kemudian ada pula pasangan yang menggunakan istilah standard operating system dalam pelayanan. Istilah ini membingungkan karena sulit dipahami.
Mungkin yang dimaksudkan adalah standar operasi prosedur (SOP) sebagai turunan dari standar pelayanan minimum (SPM) yang ditetapkan organisasi induk, dalam hal ini Kementerian Dalam Negeri. Kepala daerah atau gubernur dan bupati/wali kota boleh menjabarkan SPM ini, dalam SOP untuk setiap jenis pelayanan.
Ia menyayangkan, terkait judul debat ”Penataan Birokrasi dan Pencegahan Korupsi”, tidak ada calon yang menyinggung soal nepotisme dan kolusi. Nepotisme dalam perekrutan CPNS, penempatan pejabat, dan pengaturan proyek-proyek, masih kuat di NTT. Demikian pula kolusi dalam pembahasan APBD antara legislatif dan eksekutif.
”Kolusi dan nepotisme sempat disinggung tetapi tidak fokus. Saya harap, dalam debat ketiga, keempat paslon lebih menyiapkan diri. Debat terakhir sangat menentukan. Jika ada pasangan yang masih bergurau, itu pertanda mereka tidak serius mencalonkan diri menjadi gubernur, memimpin NTT,” kata Tuba Helan.
Alfonsus Ola (45), warga Penfui Kota Kupang, mengatakan, sebagai rakyat, ia makin bingung menentukan pilihan terkait debat, 8 Mei lalu di iNews TV. Apa yang disampaikan masing-masing pasangan calon tidak sesuai harapan.
”Saya lebih suka yang praktis saja. Bagaimana mereka melayani KTP elektronik yang cepat, tidak ada pungli saat masuk pelabuhan dan tempat-tempat wisata. Tidak ada sukuisme dan agama dalam perekrutan CPNS, serta penerimaan calon mahasiswa baru di Undana. Tidak ada pungutan lagi di sekolah-sekolah negeri,” kata Ola.