JAMBI, KOMPAS - Hilangnya habitat satwa terus memicu konflik antara gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) dan masyarakat di penyangga ekosistem Bukit Tigapuluh, Kabupaten Tebo, Jambi. Dalam tiga bulan terakhir, konflik yang memanas itu telah memakan korban di kedua belah pihak.
Kawanan kecil gajah liar menjelajah di sekitar permukiman dan kebun masyarakat di Desa Simpang Kandang, Kecamatan Tengah Ilir, Tebo, sejak satu pekan lalu. Selama gajah- gajah itu berada di sana, lebih dari 100 batang sawit muda rusak. Tanaman di kebun rakyat itu tersebar di sejumlah lokasi. Selain itu, satu pondok petani juga hancur diobrak-abrik.
Konservator gajah dari Forum Konservasi Gajah Indonesia, Alber Tetanus, mengatakan, keberadaan gajah tak
hanya mengkhawatirkan masyarakat. Keselamatan gajah- gajah itu terancam. ”Posisi mereka kini sudah tinggal 2 kilometer dari Jalan Lintas Tengah Jambi. Kalau semakin keluar dari hutan, ancaman keselamatan, entah itu diburu atau diserang warga, lebih tinggi,” kata Alber, Senin (7/5/2018).
Awal April lalu, kawanan kecil satwa yang sama juga melintasi kebun warga di Dusun Tanjung Dani, Kecamatan Sumay. Keberadaan gajah cukup lama di sekitar kebun dan permukiman sehingga meresahkan dan memicu emosi warga.
Akhirnya, warga beramai-ramai menggiring kawanan ini menjauh dari desa. Di tengah upaya pengusiran, salah satu gajah berbalik menyerang warga. Warga yang jadi korban adalah Damanhuri (46). Ia kritis setelah tersepak gajah dan dilarikan ke Rumah Sakit Umum Daerah Bungo. Ia mengalami luka berat di bagian leher dan punggung.
Gajah tewas
Minggu (6/5), tim gabungan dari Balai Konservasi Sumber Daya Alam dan Polres Tebo juga mendapati seekor gajah jantan tewas di dalam areal hutan restorasi yang dikelola sebuah perusahaan restorasi ekosistem di Bukit Tigapuluh.
Dari hasil pemeriksaan, gajah yang mulai membusuk itu dipenuhi bekas luka akibat benda tajam. Kedua gading dan gigi-giginya juga hilang. ”Kami pastikan kematiannya terkait perburuan liar satwa. Kasus ini sedang kami tangani bersama tim dari Polres Tebo,” ujar Wawan Gunawan, Kepala Seksi Wilayah II Balai Konservasi Sumber Daya Alam Jambi.
Menurut Wawan, tingginya konflik antara gajah dan manusia bisa jadi dimanfaatkan sejumlah kelompok untuk memburu gading. Untuk mengatasi eskalasi konflik, pihaknya berupaya menghalau gajah menjauhi permukiman dan kebun. ”Kawanan ini terus kami upayakan digiring menjauhi kebun dan permukiman, sampai masuk kembali ke dalam hutan,” katanya.
Namun, solusi terbaik untuk menangani konflik adalah menyediakan ruang jelajah khusus bagi kawanan satwa liar. Saat ini, sebagian besar ruang jelajah gajah telah berubah menjadi hutan tanaman industri dan perkebunan sawit. Balai Konservasi SDA menagih komitmen para pemegang konsesi terkait kewajiban mereka menyediakan minimal 10 persen areal konsesi bagi ruang konservasi dan perlindungan satwa.