Basri (45) menatap laut di depannya. Laut yang terlihat dari Desa Tanjungpasir, Kecamatan Teluknaga, Kabupaten Tangerang, Banten itu masih terlihat tenang. Namun, kegelisahan mengenai cuaca buruk yang selalu berulang sudah di depan mata.
“Setiap pertengahan tahun, terjadi angin timur. Gelombang bisa mencapai 3 meter,” ujar juru mudi Kapal Motor Bunga Kencana itu, Sabtu (14/4/2018). Basri mencari nafkah dengan menyeberangkan wisatawan ke Pulau Untung Jawa, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta.
“Angin timur biasanya berlangsung pada Juni. Kalau gelombang tinggi terjadi pada hari tertentu, awak kapal tidak bisa melaut. Besoknya bisa. Selang-seling,” katanya. Basri kehilangan pendapatan sebesar Rp 150.000 per hari jika tak melaut.
“Setiap tahun, dua kali para awak kapal merasa was-was. Pada akhir tahun, cuaca buruk juga sering terjadi karena terjadinya angin barat,” katanya. Bahkan, cuaca itu bisa berlangsung secara berkelanjutan. Basri pun mengenang cuaca paling buruk yang terjadi pada tahun 2016.
“Selama satu bulan penuh pada Desember, kapal tidak bisa menyeberang. Suatu hari, saya berlayar karena saat berangkat, cuaca cerah,” katanya. Namun, di tengah laut, kapal terbanting-banting. Bahkan, kapal terseret hingga hampir terbalik.
Gelombang menghempas dari depan dan samping sehingga air masuk ke dalam kapal. Para penumpang, terutama ibu-ibu menjerit dan berdoa. “Saya bilang, ‘tidak apa-apa’. Untung tidak ada yang pingsan. Setelah tiba di Pulau Untung Jawa, saya harus menunggu tiga jam,” ujarnya.
Begitu melihat cuaca cukup mendukung, Basri segera menjalankan kapalnya. Dia beruntung memiliki warung yang dikelola bersama istrinya sehingga bisa mencukupi kebutuhan mereka. Penghasilan dari menjual antara lain mi ayam, nasi goreng, dan mi instan, bisa mencapai Rp 300.000 per hari.
“Nelayan paling takut angin barat dan timur. Mereka tak bisa melaut. Nelayan sampai menjual atau menggadaikan telepon seluler, peralatan GPS, dan televisinya,” ujarnya. Mereka pun beralih mencari kerang di pantai. Biasanya, jika terjadi angin barat, cuaca buruk terjadi paling lama dua pekan.
Dia bersyukur, kapal yang dikemudikannya tak pernah terbalik. Para awak kapal di Desa Tanjung Pasir tahu saat yang tidak tepat untuk berlayar dengan mengamati cuaca. “Mereka menunggu dulu hingga cuaca cerah,” ucap Basri yang sudah 20 tahun menjadi awak kapal itu.
Juru mudi Kapal Motor Bima Suci, Mamat (50), mengatakan, pengalamannya yang paling mendebarkan berlangsung pada Juni 2017. “Meski tak terjadi hujan, angin bertiup kencang dan tinggi gelombang mencapai 2 meter. Kapal sampai terguncang hebat,” tuturnya.
Mamat tetap melanjutkan perjalanan dari Desa Tanjung Pasir dengan keyakinan selamat sampai Pulau Untung Jawa karena tak mengantar penumpang hingga mencapai daya angkut maksimal kapalnya. Dia mengantar 30 penumpang saja sementara kapasitas kapal yang dikemudikannya mencapai 130 orang.
“Kerisauan itu memang selalu berulang. Setiap tahun, kejadian seperti itu rata-rata terjadi empat kali. Tapi, kapal yang saya kemudikan belum pernah tenggelam,” ujarnya.
Berkat asam garam menjadi awak kapal selama delapan tahun, Mamat yakin dapat mengatasi persoalan saat berlayar. “Kalau kapal enggak layak berlayar, ngeri. Karena itu, saya selalu mengecek kapal dan mesin sebelum berangkat,” ucapnya.
Jika gelombang cukup tinggi, Mamat juga mengurungkan niatnya untuk mengantar wisatawan. Cuaca buruk umumnya terjadi pada pertengahan dan akhir tahun.