Informasi tentang mata cangkul yang membentur benda keras di kebun kopi milik Bulyadi segera meluas dan menggemparkan. Masyarakat Desa Jujun di Kecamatan Keliling Danau, Kabupaten Kerinci, pun mulai menggali tanah. Semakin gemparlah mereka sesaat menyingkap wujud benda keras itu.
Sebuah batu, yang meskipun masih samar penampakannya, tampak membentuk tubuh manusia. Penggalian pun dilanjutkan. Bersama sejumlah arkeolog, penggalian itu semakin menampakkan hasil. Batu sepanjang hampir 2 meter membentuk ukiran pahat menonjol tubuh laki-laki tanpa telapak kaki di ujung utara serta tubuh perempuan di ujung selatannya.
Tak jauh dari situ, tampak pula belasan temuan kuno. Mereka angkat satu per satu. Tampaklah bebatuan gunung yang berukuran besar. Lebih unik lagi hampir seluruh bebatuan itu berukir. Di Ada yang berbentuk pahatan tubuh manusia. Lalu di tempat lain, ada pula pahatan berbentuk gajah, harimau, anjing, dan kuda.
Namun, yang paling menarik adalah pahatan berbentuk spiral yang tersebar di sejumlah lokasi. Motif spiral yang dimaknai sebagai pemujaan pada matahari serupa dengan temuan arkeologi lain di berbagai belahan bumi ini, seperti di Mesir, Yunani, hingga wilayah Asia Timur.
Sejak itulah Bulyadi mulai mengerti. Peradaban masa lalu pernah singgah di kebun kopinya. ”Memang, sering kali saya mencangkul, tiba-tiba membentur sesuatu yang keras. Kini saya yakini itu adalah sisa peradaban yang terkubur,” katanya.
Kini, kebun kopinya sudah berumur lebih dari 50 tahun. Sampai sekarang, masih sering ia temukan pecahan gerabah.
Bahkan, ketika Kompas mampir ke kebun tuanya itu, Januari 2018, Bulyadi sedang membersihkan lantai kebun dari rumput liar di bawah tanaman kopi. Tiba-tiba tampak di tangannya sejumlah pecahan gerabah baru. Temuan baru itu segera ia kumpulkan.
Beberapa merupakan pecahan badan periuk dan tutup. Ada pula gerabah yang telah berpahat dengan motif spiral, garis diagonal, dan garis sulur.
Segera sesudahnya, temuan baru itu ia kumpulkan di satu tempat. ”Temuan ini akan saya laporkan ke Balai (Balai Pelestarian Cagar Budaya Jambi),” katanya.
Cerita terputus
Setidaknya tiga generasi terakhir di atas Bulyadi masih buta soal kisah peradaban kuno di desa mereka. Tak pernah ada cerita turun-temurun perihal bebatuan kuno.
Sejauh yang mereka pahami, orang tua pernah mengingatkan. Misalnya, jangan memindahkan jauh-jauh bebatuan dari tempatnya semula, apalagi menjualnya.
Satu-satunya yang mungkin bisa dikaitkan adalah masih hidupnya beragam ritual adat setempat, misalnya tradisi pengobatan ngubat, meramal kopi, dan kenduri sko. Ritual-ritual itu menjadi bukti masih lekatnya hubungan masyarakat pada arwah leluhur.
Hasil penelitian mendapati peradaban besar pernah berkembang di wilayah itu 10.000 tahun sebelum Masehi. Peradaban menyebar di desa-desa tua yang kini menjadi sentra perkebunan kopi dan kayu manis. Letaknya menghampar di lembah-lembah Pegunungan Bukit Barisan, mulai dari Kerinci (Jambi), Pagaralam dan Lahat (Sumsel), hingga ke perbatasan Bengkulu.
Temuan dan ekskavasi situs megalitik di dataran tinggi Jambi itu dilakukan pertama kali tahun 2009 oleh peneliti Balai Arkeologi Sumatera Bagian Selatan, Tri Marhaeni. Disimpulkan bahwa sudah adanya peradaban sejak masa protosejarah melalui temuan keramik China dari Dinasti Han dan benda perunggu dari kebudayaan Dongson di Vietnam. Belakangan, kawasan itu juga dilintasi jalur perdagangan maritim sebagai pemasok hasil hutan, kebun, dan tambang. Salah satunya adalah kopi.
Di Kerinci, temuan purbakala banyak didapati tidak hanya di Jujun, tetapi desa-desa sekitarnya yang mengelilingi Danau Kerinci. Di Desa Muak, misalnya, terdapat situs Batu Patah. Ada lagi situs Kubur Tempayan Talang Semerah. Ditemukan pula batu-batu obsidian di sekitar tempayan kubur. Batu itu merupakan ciri budaya materi masa Mesolitik hingga Megalitik.
Pamong budaya sekaligus pelestari peninggalan arkeologis Kerinci, Iskandar Zakaria, mengatakan, beragam temuan itu mencerminkan sudah terbentuknya peradaban di sana sejak masa zaman batu tengah atau Mesolitikum. ”Sampai sekarang pun saya masih sering tanpa sengaja mendapati peninggalan-peninggalan masa lalu. Masih banyak terkubur di tanah,” katanya.
Sejarah membuktikan kebesaran nama Kerinci pada masa lalu. Tak hanya karena peradaban besarnya pada masa prasejarah. Pada awal abad ke-19, Kerinci pun tersohor sebagai salah satu pemasok kopi dunia.
Bahkan, dalam buku All About Coffee karya William H Ukers, diterbitkan tahun 1922, disebutkan bahwa kopi Kerinci saat itu disebut Corinchie, dihasilkan dari kultivasi alami, dapat menghasilkan biji kopi yang berukuran besar-besar, tampak bagus, dan berwarna cokelat. Disebut pula soal rasanya yang menarik, ”Good body, plenty of bitter acid, delicious flavor”.
Kini, hasil kopi tua dari kebun Bulyadi masih produktif. Disebut-sebut dengan nama kopi Arab. ”Karena dulunya kopi ini dibawa masuk Kerinci oleh jemaah yang naik haji ke Arab,” katanya.
Belakangan ia menambah tanaman baru robusta di sela-sela kopi Arab. Tanaman kopi muda memberi hasil panen lebih banyak. Namun, kopi Arab tetap dirawat dan buah merahnya dijadikan bibit. Kisah masa lalu dan sekarang akhirnya menyatu sebagai harta karun di tengah kebun.