Buruh, Guru, dan Jurnalis di Aceh Tuntut Upah Layak
Oleh
ZULKARNAINI
·2 menit baca
BANDA ACEH, KOMPAS -— Sedikitnya 100 orang dari berbagai organisasi buruh di Banda Aceh, Provinsi Aceh, Selasa (1/5/2018), melakukan demonstrasi dalam rangka memperingati Hari Buruh Internasional. Mereka menuntut pemerintah dan perusahaan menerapkan upah layak bagi pekerja.
Demo berlangsung di jalanan kota, tepatnya di depan Masjid Raya Baiturrahman. Massa mengusung spanduk bertuliskan tuntutan kesejahteraan dan perlindungan bagi keselamatan pekerja. Organisasi buruh yang terlibat di antaranya Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI), Asosiasi Serikat Pekerja (Aspek) Indonesia, Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), Aliansi Buruh Aceh (ABA), dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Banda Aceh.
Mereka melakukan orasi secara bergantian untuk menyampaikan aspirasi kepada pemerintah dan perusahaan. Isu kesejahteraan dan jaminan pekerjaan menjadi poin yang paling penting mereka suarakan.
Ketua Aliansi Buruh Aceh Syaiful Mar mengatakan, masih banyak buruh yang dibayar di bawah upah minimum provinsi (UMP). Adapun UMP di Aceh berdasarkan keputusan Gubernur Aceh tahun 2018 sebesar Rp 2,7 juta per bulan.
Salah satu pekerja yang pembayaran upah di bawah UMP adalah guru honorer, guru bakti, dan tenaga kesehatan, terutama sekali mereka yang bekerja di daerah terpencil. Syaiful mengatakan, ini bukti pemerintah belum mampu menghadirkan keadilan bagi para pekerja.
Ketua PGRI Aceh Abdul Syakur mengatakan, ada ribuan guru honorer di kabupaten/kota yang mengajar di sekolah dasar hingga sekolah menengah atas dengan upah rendah. Bahkan, ada guru yang dibayar Rp 200.000 per bulan,” kata Abdul.
Abdul mendesak pemerintah untuk menambah upah bagi guru. Abdul mengatakan, sangat ironis ketika pemerintah menginginkan kualitas pendidikan membaik, tetapi mengabaikan kesejahteraan tenaga pendidik.
Tingginya lulusan sarjana keguruan dari perguruan tinggi sementara lapangan kerja terbatas telah memicu pengangguran baru pada kelompok sarjana pendidikan. Abdul menyatakan, seharusnya perguruan tinggi membatasi penerimaan mahasiswa di jurusan keguruan dengan menyesuaikan kebutuhan dunia kerja.
Dalam kesempatan itu, mereka juga mendesak pemerintah agar mengawasi tenaga kerja asing. Kehadiran tenaga kerja asing telah merebut peluang kerja bagi tenaga lokal. Padahal, pada saat yang sama, angka pengangguran di Aceh masih tinggi.
Pekerja asing ilegal banyak ditemukan di Aceh Barat, Nagan Raya, Aceh Tengah, dan Bener Meriah. Mereka bekerja di perusahaan tambang, rekonstruksi, dan perkebunan. Tahun 2016 sebanyak 12 warga negara China dan 2 warga Malaysia ditangkap karena bekerja di tambang emas secara ilegal.
Massa berjalan kaki di sepanjang jalan protokol untuk mengampanyekan pemenuhan hak bagi buruh.