Upaya Pemprov Sumsel Atasi Penyebab Rendahnya Harga Karet di Tingkat Petani
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·3 menit baca
PALEMBANG,KOMPAS - Jumlah Unit Pengolahan dan Pemasaran Bahan Olah Karet (UPPB) di Sumatera Selatan akan diperluas hingga ke desa. Sampai tahun 2020 pemerintah menargetkan ada 3.000 unit UPPB di Sumsel. Hal ini diharapkan dapat memotong rantai pasok yang menjadi salah satu penyebab rendahnya harga karet di tingkat petani.
Kepala Bidang Pengolahan dan Pemasaran Hasil Dinas Perkebunan Sumatera Selatan, Rudi Arpian, Selasa (24/4/2018) di Palembang menuturkan, sejak tahun 2013 sampai saat ini, jumlah Unit Pengolahan dan Pemasaran Bahan Olah Karet (UPPB) di Sumatera Selatan hanya 152 unit yang tersebar di 14 kabupaten dan kota yang ada di Sumsel. Angka ini tergolong rendah mengingat luasan lahan karet di Sumsel mencapai 1,3 juta hektar. "Idealnya, setiap 100 hektar lahan di suatu kawasan harus memiliki satu UPPB," ujar Rudi.
Padahal, lanjut Rudi, keberadaan UPPB berperan penting untuk meningkatkan harga karet di tingkat petani. Apabila dibandingkan, harga karet di UPPB saat ini bisa mencapai Rp 8.000 per kg, sedangkan harga petani apabila menjual secara perorangan hanya berada dikisaran Rp 4.000-Rp 5.000 per kg.
Selisih ini disebabkan kelompok petani dapat menjual produknya langsung dengan pembeli dalam hal ini pabrik atau suplier utusan pabrik. Itulah sebabnya, UPPB akan terus diperkuat.
Nantinya, semua karet akan dikumpulkan di tingkat desa dan kemudian dari sejumlah desa akan digabung ke UPPB tingkat kecamatan. Akan ada skema kecamatan bahan olahan karet (bokar) bersih di setiap kecamatan. Dengan skema ini, setiap kecamatan akan mengumpulkan bokar dari setiap desa yang dinaunginya.
Apabila dikalkulasikan, apabila satu desa dapat mengumpulkan 50 ton bokah karet maka satu kecamatan dapat mengumpulkan 450 ton-500 ton. Dengan jumlah yang sedemikin besar, pabrikan akan tertarik untuk langsung membeli ke UPPB.
Selama ini, rendahnya harga karet di tingkat petani juga disebabkan oleh panjangnya rantai pasok. Rudi menghitung, setidaknya ada tiga sampai empat pengepul yang menghubungkan petani. "Dengan adanya UPPB, dapat memangkas dua mata rantai pedangang pengempul," kata Rudi. Rantai pasok pun dapat diperpendek. "Harga yang diterima petani pun akan lebih tinggi,"katanya.
Kemaren, ke 152 UPPB di Sumatera Selatan sudah membuat sebuah Asosiasi UPPB di tingkat provinsi. Mereka pun memiliki program kerja untuk memperluas jaringan UPPB di tingkat kecamatan hingga ke tingat desa. “Bahkan untuk mengembangkan konsep UPPB akan difungsikan dana desa,” kata Rudi.
Di sisi lain, dengan adanya UPPB, juga akan memudahkan pabrikan mendapatkan bokar yang berkualitas, karena karet yang dapat dijual memiliki standar tertentu yang diinginkan oleh pabrikan.
Ketua Gabungan Perusahaan Karet Indonesia (Gapkindo) Sumsel Alex K Eddy mengatakan, pihaknya menyambut rencana pengembangan UPPB. Menurutnya, hal ini dapat mempermudah komunikasi antara petani dengan pabrikan terutama untuk mengahasilkan bokar karet yang sesuai standar. Saat ini, ada sekitar 24 pabrik karet di Sumatera Selatan, dengan adanya UPPB diharapkan hubungan antara pabrik dan petani bisa semakin dekat.
Namun perlu diingat bahwa pabrikan juga membutuhkan pedagang perantara untuk menjangkau karet hingga ke pelosok. Namun, dengan UPPB, maka pedagang perantara dapat diperkecil. Selain itu, harga yang akan diberikan juga tidak bisa jauh dari harga bokar di atas kapal. Saat ini, harga karet di pasar dunia sekitar 1,38 dolar AS per kilogram, masih jauh dari nilai psikologi yakni 2 dolar AS per kilogram.
Hal ini disebabkan oleh masih banyaknya cadangan karet di negara-negara pengimpor karet Indonesia seperti Cina, Jepang, dan Amerika Serikat. Belum lagi, semakin banyaknya produsen karet terutama di kawasan Asia Tenggara.