Niat Mulia Itu Berakhir Duka
Gundukan tanah merah di tempat pemakaman umum Desa Gegesik Kulon itu masih basah. Doa baru dilayangkan ke angkasa saat Jajang Koniman (45) mengenang keponakannya, Az-Ziqri (13), yang baru dimakamkan siang itu. ”Mungkin dia sedang menabuh gamelan di alam sana,” ujar Jajang di hadapan makam Ziqri, Senin (16/4/2018) siang.
Ziqri adalah salah satu korban tewas dalam insiden runtuhnya tembok bekas rumah walet berusia 50 tahun yang menimpa sanggar seni wayang kulit Hidayat Jati di Gegesik, beberapa jam sebelumnya.
Saat kejadian, Az-Ziqri tengah memainkan gamelan di sanggar itu. Bersama pemilik sanggar, dalang Suherman (48) dan anaknya, Arid (22), dia ikut memandu para penari yang akan mementaskan tari topeng klana pada Hari Pendidikan Nasional tanggal 2 Mei 2018.
Naas, jelang siang, lantunan gamelan tari topeng itu berganti isak tangis. Nyawa Ziqri, Suherman, Arid, bersama empat pelajar SMPN 1 Gegesik, yakni Andra (13), Fadia (13), Ferdi (14), dan Suprapti (13), diambil sang kuasa. Intan (13), siswa SMPN 1 Gegesik lain, masih kritis dan dirawat di RS Gunung Jati, Kota Cirebon.
Tubuh belia Ziqri tertimpa reruntuhan tembok setinggi
10 meter dan tebal setengah meter. Hidup dalang cilik berbakat itu terasa singkat. Dia pergi saat bakatnya baru saja mekar.
”Cita-cita anak saya ingin melestarikan kesenian tradisional, seperti wayang kulit,” ucap Aminah (43), menggenggam nisan Ziqri, anaknya.
Beberapa kali Aminah bercerita keahlian anaknya menabuh gamelan dan mendalang. Siswa kelas VIII SMPN 3 Gegesik itu bahkan mendapatkan piagam penghargaan dari Persatuan Perdalangan Indonesia Pusat serta dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Ziqri adalah salah satu peserta Festival Dalang Bocah Tingkat Nasional 2017 di Taman Mini Indonesia Indah. Piagam itu dibingkai dan tertempel di ruang tamu Aminah.
Kecintaan Ziqri terhadap kesenian tradisional juga tampak pada kegemarannya membuat wayang, bahannya sederhana, dari karton dan fiber. Wayang berwarna merah jambu itu ditatah sendiri menggunakan paku. Beberapa helai rambutnya dan Aminah jadi aksesori di kepala wayang petruk buatannya.
Menurut Sadilah (47), ayah Ziqri, anaknya mulai menggemari kesenian tradisional sejak kelas IV SD. Dia lantas mendaftarkan anaknya ke sanggar seni saat kelas VII SMP.
”Bakatnya turun dari kakek saya, seorang nayaga atau penabuh gamelan,” ucap Sadilah yang bekerja sebagai pengangkut padi.
Jalan sunyi
Tidak hanya keluarga Ziqri yang bersedih. Duka seketika menyelimuti Gegesik, berjarak 31 kilometer dari pusat kota Kabupaten Cirebon. Bendera kuning tampak di beberapa rumah yang masih bertetangga. Banyak seniman lokal berdatangan. Kejadian itu ”mencuri” tiga generasi pedalang Cirebon sekaligus.
Ditetapkan jadi kampung seni sejak 2016, Gegesik jadi rumah bagi pembuat wayang, penari topeng, hingga pelukis kaca. Sebagian besar dari 24 sanggar seni Cirebon berada di Gegesik. Sekitar setengah dari 100 dalang Cirebon juga tinggal di sana.
Selain Ziqri, Suherman dan putra sulungnya, Arid, adalah harapan wayang Cirebon berumur panjang. Keduanya adalah keturunan almarhum Basari, maestro dalang di Cirebon. Mereka dikenal tekun menjaga garis keturunan dalang.
Suherman menjadi dalang sejak 1994. Ia membuat sanggar dengan biaya sendiri, lima tahun lalu. Arid turut membantu ayahnya mengurus sanggar. Dua tahun terakhir, sanggar Hidayat Jati bekerja sama dengan sejumlah sekolah melatih banyak siswa belajar tari dan karawitan.
Suherman tidak memungut biaya. Tujuannya mulia. Suherman seperti berjuang di jalan sunyi tanpa gemerlap pemberitaan media. Bapak tiga anak ini menjadi dalang yang doyan mengajak generasi muda melestarikan kesenian tradisional, menjaga regenerasi budaya tetap terjaga di Cirebon.
”Pelatihannya gratis. Bahkan, siswa diberikan minum. Kami ingin mendekatkan siswa pada budayanya sendiri,” ujar Kepala SMPN 1 Gegesik Suhardi.
Semuanya dilakukan dengan cinta oleh Suherman. Suhartono (35), adik Suherman, mengatakan, kakaknya berkarya tak sekadar mencari rupiah. Dari delapan bersaudara, hanya ia dan Suherman yang meneruskan pesan ayahnya untuk melestarikan wayang. Suhartono melanjutkan nama grup bapaknya, Langen Suara, sementara Suherman membentuk grup Hidayat Jati.
Menurut Suhartono, undangan pentas untuk wayang paling hanya sepekan sekali. Itu pun pada momen tertentu, seperti mapag sri, upacara saat panen raya atau nadran, sedekah laut.
Bayarannya pun tak banyak. Sekali pentas dari pagi hingga malam bisa Rp 10 juta-Rp 20 juta. Uang itu nantinya dibagi lagi untuk membayar 35 orang, dari nayaga, pekerja panggung, hingga penanggung jawab transportasi. ”Dalang paling banyak bisa dapat Rp 2 juta,” ujar Suhartono.
Kepala Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda dan Olahraga Kabupaten Cirebon Hartono mengatakan, pihaknya akan terus menghidupkan geliat kreativitas di kampung seni Gegesik. Beberapa cara yang akan dilakukan adalah memberikan bantuan gamelan atau renovasi sanggar.
”Kami prihatin atas musibah ini. Seniman-seniman kita telah pergi. Namun, kami berharap semangat mereka tetap hidup,” ujarnya.
Kesetiaan para korban sudah paripurna. Hanya ajal yang bisa memisahkan cinta dan harapan mereka pada seni tradisi.