Tinggi, Impor Bahan Tekstil
Hingga kini sekitar 70 persen bahan baku produk tekstil di Jawa Tengah masih diimpor. Kondisi ini dinilai tidak menarik dan hanya mengganggu ekonomi setempat.
SEMARANG, KOMPAS - Tingginya ketergantungan terhadap impor bahan baku menyebabkan pertumbuhan industri tekstil dan produk tekstil di Provinsi Jawa Tengah stagnan. Untuk itu, perlu dibangun industri bahan baku sehingga usaha tekstil berkembang lebih optimal guna mengungkit ekonomi daerah, terutama sektor riil.
”Industri tekstil dan barang tekstil harus dibuat terpadu, apalagi memasuki era Revolusi Industri 4.0. Pengelolaan industri terintegrasi dari hulu ke hilir mendesak agar produk dalam negeri tidak kalah bersaing. Saat ini hampir 70 persen bahan baku tekstil impor. Jadi, sekarang saatnya bangun pabrik bahan baku,” kata Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Jateng Frans Kongi di Semarang, Senin (16/4/2018).
Ketergantungan bahan baku impor itu, menurut Kepala Bidang Statistik Distribusi Badan Pusat Statistik (BPS) Jateng Sri Herawati, tampak dari nilai impor industri tekstil dan barang tekstil yang terus naik selama tiga tahun terakhir. Pada Januari-Maret 2017, misalnya, sebesar Rp 1,9 triliun atau 142,88 juta dollar AS. Padahal, periode yang sama tahun lalu Rp 1,41 triliun. Nilai impor pada 2015 sebesar Rp 1,3 triliun atau 96,11 juta dollar AS.
Adapun nilai impor industri tekstil dan barang tekstil di Jateng pada Januari-Maret 2018 sekitar Rp 1,8 triliun atau 132,13 juta dollar AS. Bahan baku yang diimpor seperti kain, benang, dan kapas. Mayoritas bahan baku tekstil diimpor dari China.
”Impor bahan baku menyumbang 83,52 persen dari nilai impor kumulatif pada Januari-Maret 2018 senilai 3.249,62 juta dollar AS (Rp 44,7 triliun). Ini harus jadi perhatian bersama,” ujar Sri.
Sementara itu, selama tahun 2015-2018, andil ekspor industri tekstil dan barang tekstil cenderung stagnan sekitar 40 persen. Nilai ekspor pada Januari-Maret 2018 sebesar Rp 3,2 triliun atau 234,67 juta dollar AS, atau naik dari periode yang sama tahun 2017 senilai Rp 2,9 triliun. Nilai ekspor 2015 hanya Rp 2,7 triliun.
Dibuat terpadu
Lebih lanjut Frans Kongi mengingatkan, industri tekstil dan barang tekstil harus dibuat terpadu, apalagi memasuki era Revolusi Industri 4.0. Pengelolaan industri dari hulu ke hilir mendesak agar lebih produktif dan mengurangi impor.
Menurut Frans, peluang investasi di Jateng masih terbuka lebar. Sektor industri yang dinilai paling memikat antara lain tekstil, garmen, alas kaki, perkayuan, dan obat-obatan. ”Iklim investasi di Jateng juga cukup kondusif seiring pemangkasan birokrasi perizinan oleh pemerintah provinsi dan kota/kabupaten,” ujarnya.
Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Arif Sambodo menjelaskan, pemerintah secara bertahap mulai mengurangi ketergantungan impor bahan baku. Arah kebijakan tahun 2019 difokuskan pada industrialisasi substitusi impor. Industri dalam negeri secara khusus didorong menciptakan peralatan untuk produksi bahan baku.
”Arah kebijakan ini masih harus dibicarakan bersama Asosiasi Pertekstilan. Proses bertahap karena harus dipetakan komponen bahan baku yang bisa atau tidak bisa dibuat sendiri,” ujar Arif.
Arif mencontohkan, bahan baku jenis kapas tidak bisa diproduksi di Jateng karena hanya tumbuh di iklim subtropis. Kapas bisa diganti dengan serat rami atau serat nanas sebagai alternatif. Namun, alternatif bahan baku tergantung dari minat pasar sehingga butuh kajian dan promosi mendalam. Pemerintah terus berkomunikasi dengan industri terkait alternatif bahan baku ini.
Pembangunan pabrik bahan baku juga masih menunggu minat investor. Pilihan lokasi investasi cukup banyak dan tersebar di beberapa kawasan industri Jateng. Untuk menarik investor, pemerintah telah memangkas birokrasi perizinan dan mendirikan layanan informasi investasi berbasis daring.
Terobosan pemerintah itu cukup efektif. Mengutip data Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Jateng, realisasi investasi tahun 2017 senilai Rp 51,54 triliun melampaui target Rp 41,7 triliun. Realisasi investasi terdiri dari penanaman modal dalam negeri Rp 19,86 triliun dan penanaman modal asing Rp 31,67 triliun. Investasi mayoritas bergerak di sektor industri kayu, tekstil, gas, listrik, dan air.
Namun, menurut Frans, pertumbuhan investasi di Jateng belum signifikan. Kondisi tersebut ditengarai pertumbuhan ekonomi daerah yang masih pada kisaran 5 persen. Padahal, untuk menarik banyak investor, pertumbuhan ekonomi daerah setidaknya menyentuh 6 persen. Selain itu, investor menilai bunga bank 12 persen masih terlalu tinggi. ”Apindo mengusulkan bunga bank berkisar 8-9 persen. Di luar negeri, bunga bank cukup rendah, hanya satu digit,” ujar Frans. (KRN)