Saat keberagaman dipertanyakan lagi di zaman ini, banyak orang mulai lupa perjuangan setiap warga Indonesia dari Sabang sampai Marauke untuk merdeka. Mereka terlalu sibuk mencari harta karun sehingga lupa harta sebenarnya, yakni Sang Saka Merah Putih.
Hal itu tergambar dalam kisah Sang Saka yang dibawakan Teater Keliling di Palangkaraya, Kalimantan Tengah, Minggu (8/4/2018). Kisah itu merupakan sekuel kedua setelah Jas Merah yang juga dibuat oleh Teater Keliling.
Lakon dimulai dengan kisah seorang veteran perang yang coba mengajak pemuda untuk melihat kembali masa lalu. Bagaimana ia berperang melawan penjajah, meninggalkan istri yang baru dinikahinya, sampai melihat istrinya ikut menjadi korban dan tewas.
Namun, usaha si veteran itu tak berjalan mulus. Dilihatnya kehidupan pemuda saat ini sibuk mencari harta karun dan membuat pencitraan tak berguna di media sosial.
Sekolompok anak muda itu dilakonkan dalam peran Komer, Patty, dan Koor. Mereka mencari harta karun di hutan.
Sampai di tempat harta karun bukan emas dan berlian yang didapat, melainkan Sang Saka yang kotor dan lusuh. Terbujur kaku di dalam kotak, dilupakan, dan tersiksa.
Layar berganti. Situasi berganti di mana Soekarni, Wikana, dan Chaerul Saleh dari perkumpulan Menteng 31 yang dikenal dengan golongan muda mendesak Soekarno-Hatta untuk segera memproklamirkan kemerdekaan.
Terjadi perdebatan hebat antara golongan muda dan tua. Dengan jatuhnya Hiroshima dan Nagasaki yang dibombardir Amerika Serikat menjadi alasan kuat golongan muda mendesak Soekarno-Hatta.
Di sisi lain, Fatmawati membawa Sang Saka Merah Putih untuk dikibarkan. Sang Saka dibuat, dikibarkan oleh para pemuda yang berasal dari beragam daerah. Mereka menggunakan beragam busana, baik dari Dayak, Papua, Jawa, ada pula yang berhijab, tak berhijab, dan lainnya.
Bagi Rudolf Puspa, sutradara sekaligus pendiri Teater Keliling, keberagaman menjadi fenomena bangsa yang kembali dipertanyakan.
”Pemuda saat ini lupa, berapa juta liter darah yang bercucuran saat merebut kemerdekaan,” kata Rudolf Puspa.
Menurut Rudolf, bangsa ini dibentuk karena kemajemukan. ”Kemerdekaan direbut bersama-sama, bukan satu golongan saja,” ujarnya.
Pesan kemanusiaan
Kegiatan yang didukung oleh Yayasan Bakti Budaya Djarum itu sudah dipentaskan di lima kota, yakni Cirebon, Pangandaran, Karawang, Banjarmasin, dan yang terakhir adalah Palangkaraya.
Direktur Program Yayasan Bakti Budaya Djarum Renitasari Adrian mengatakan, Teater Keliling selalu memberikan penampilan yang unik dan memberikan pesan. Mereka juga memberikan kesempatan kepada komunitas di setiap kota yang dikunjungi untuk berkolaborasi.
”Tujuannya supaya penonton bisa melebur dengan pertunjukan hingga akhir sehingga nilai dan pesan tersampaikan,” kata Renitasari.
Ketua Yayasan Teater Keliling Dolfry Inda Suri mengatakan, sebagai generasi penerus, dirinya dan pemuda lainnya penting untuk mempelajari dan mengenalkan kembali sejarah bangsa.
Hadirnya Sang Saka di sejumlah kota diharapkan bisa memberikan pesan positif kepada semua orang.
”Melalui teater, generasi penerus bisa lebih mencintai Tanah Air dan membesarkan bangsa dengan caranya masing-masing,” kata Dolfry.