Warga Berdaya dari Wisata Halal
Sejak menjadi juara di dua kategori World Halal Tourism Awards (WHTA) 2015 dan tiga kategori pada WHTA 2016, program wisata halal digarap serius di Nusa Tenggara Barat.
Berkat program itu pula, perekonomian warga mulai terangkat. Warga yang semula menjadi buruh tani sekarang mulai mandiri dengan usaha di bidang wisata.
Wisata halal merupakan industri pariwisata yang standar pelayanannya merujuk aturan Islam. Salah satu bentuknya, minuman dan makanan di restoran dan hotel harus memenuhi standar higienitas, terutama sesuai aturan Islam. Penyedia jasa transportasi, restoran, dan hotel harus memberi kemudahan bagi wisatawan Muslim beribadah (shalat) dengan menyediakan mushalla dan tempat wudu.
Dengan modal kental nuansa islami, NTB memiliki segala potensi untuk berkembang menjadi destinasi wisata halal Indonesia. Misalnya, Pulau Lombok yang dikenal sebagai ”Pulau Seribu Masjid” karena tiap desa di pulau itu memiliki lebih dari satu masjid.
Wajar NTB memenangi kategori WHTA: World Best Halal Tourism Destination tahun 2015, kemudian World Best Halal Honeymoon Destination. Prestasi lebih baik dengan meraih tiga penghargaan pada WHTA tahun 2016: World Best Halal Honeymoon Destination, World Best Halal Beach Resort untuk Novotel Lombok Resort and Villas, serta World Best Halal Travel Website pada situs www.wonderfullomboksumbawa.com.
Kementerian Pariwisata juga menjadikan NTB, Aceh, dan Sumatera Barat sebagai daerah pengembangan destinasi wisata halal Indonesia sejak 2015.
”Sejak 2016, kami serius menjadikan wisata halal sebagai merek dagang promosi wisata NTB. Kami memperkuat upaya itu lewat sejumlah peraturan daerah, antara lain menggratiskan pengeluaran sertifikat halal bagi pelaku usaha wisata halal,” ujar Kepala Dinas Pariwisata NTB Lalu Mohammad Faozal di Mataram, Lombok, Senin (2/4/2018).
Ekonomi meningkat
Sejak saat itu, banyak warga secara individu ataupun kelompok di desa-desa Pulau Lombok dan Sumbawa termovitasi untuk mengais rezeki dari perkembangan wisata. Di Desa Bile Bante, Lombok Tengah, misalnya, dulu lahan kebun dijadikan usaha galian C. Karena tingginya aktivitas penambangan, desa itu penuh debu akibat banyaknya truk yang mengangkut tanah uruk. Desa itu dikenal sebagai ”desa debu”.
Aktivitas penambangan itu menjadi sumber penghasilan alternatif bagi warga desa yang umumnya buruh tani dan petani penggarap dengan penghasilan terbatas. Namun, tahun 2016, desa itu banting setir dan kini menjadi ”Desa Wisata Hijau”.
Desa itu melahirkan pengusaha-pengusaha baru dengan membuka restoran, penginapan, dan menjual paket wisata petualangan, yaitu bersepeda menjelajah pematang sawah, area pemancingan dan pertunjukan seni budaya bernapaskan Islam.
Hj Siti Zaenab (48) merupakan salah satu yang tangkas menangkap peluang usaha dari perkembangan desa itu. Pemilik UD Azhari tersebut semula menjual kerupuk dan kue basah. Produk itu dijual keliling ke beberapa desa selain dititipkan ke warung-warung. Penghasilan Zaenab Rp 1,5 juta sebulan.
Kini Zaenab menjadi juragan penganan khas Lombok, dengan 14 jenis produk berbahan jagung dan rumput laut. Sejumlah
toko pusat oleh-oleh serta hotel di Kota Mataram dan Pulau Sumbawa menampung produknya.
”Berkat geliat wisata halal, Lombok maupun Sumbawa semakin ramai dikunjungi wisatawan. Itu sangat menolong kami yang menjual oleh-oleh ataupun cendera mata,” kata Zaenab yang mengaku mengantongi penghasilan Rp 30 juta per bulan saat ini.
Diperkuat
Menurut Faozal, untuk mengembangkan wisata halal, Pemerintah Provinsi NTB menjadikan pariwisata sebagai prioritas pembangunan. Pihaknya juga menggandeng Bank NTB untuk membuka akses pinjaman bagi pengusaha sektor pariwisata.
Direktur Utama Bank NTB H Komari Subakir mengatakan, sebagai bank daerah, pihaknya sangat mendukung upaya Pemprov NTB mengembangkan sektor pariwisata. Apalagi, NTB memiliki potensi pertanian yang mendukung kepariwisataan provinsi itu.
Bank NTB memberi kemudahan kredit dengan syarat, antara lain, warga telah menjalankan usaha minimal enam bulan dan memiliki data diri lengkap, seperti KTP. Kemudahan itu membuat penyaluran kredit sektor pariwisata menjadi tertinggi dibandingkan dengan sektor lain dalam lima tahun terakhir. Rata-rata 26,58 persen per tahun.
Penyaluran kredit di sektor pariwisata masih akan tumbuh lebih besar asalkan pemerintah dan masyarakat menjaga iklim investasi, antara lain dengan menjaga keamanan dan kenyamanan bagi wisatawan dan dunia usaha.
Bank NTB akan berubah dari sistem konvensional menuju Bank NTB Syariah. Sistem itu akan lebih mendukung pemerintah mengembangkan sektor wisata halal.
Zaenab mengingatkan agar pemerintah memberi kemudahan dalam mendapatkan sertifikat halal atas produk masyarakat. ”Di provinsi, pengurusan sertifikat halal gratis. Sedangkan di kabupaten-kota, pengajuan label PIRT (produk industri rumah tangga)—syarat utama usulan mendapat sertifikat halal—belum semuanya gratis. Padahal, pelaku usaha belum mampu membayar pada awal usaha,” ujar Zaenab. (DIM/IKI/USH)