”Hinting Pali”, Solusi Adat Petani


Upu Ucun Tirunuk, basir atau pemuka agama Kaharingan, kepercayaan masyarakat suku Dayak, memulai upacara adat hinting pali di Desa Lawang Uru, Kabupaten Pulang Pisau (foto bawah).
Bulir keringat meluncur deras di kulitnya yang keriput. Tak sadar sudah 7 kilometer ia lalui hingga ia sampai ke pondok tempat ritual hinting pali digelar.
Pondok itu di tengah-tengah perkebunan sawit milik perusahaan swasta. Di dalamnya sudah menunggu warga lainnya, juga polisi dan wakil perusahaan.
Warga satu per satu datang membawa berbagai persyaratan ritual hinting pali. Ada yang membawa seekor babi, sekarung beras, beberapa lembar dawen sawang atau daun andong (Cordyline fruticosa LA cheva), kapur, tali rotan, dan beberapa batang tiang kayu galam.
Upu Ucun Tirunuk (53), yang dikenal sebagai basir atau pemuka agama Kaharingan, kepercayaan masyarakat suku Dayak, duduk di tengah kerumunan.
Ia membaca doa untuk memulai ritual. Seekor babi yang keempat kakinya diikat kemudian diangkat menggunakan kayu. Upu mengambil tombak lalu menancapkannya ke tubuh babi.
Darah babi ditampung dalam sebuah gelas plastik yang terisi beras putih. Upu lantas membaca doa lagi dalam bahasa Sangiang (roh), bahasa yang hanya dipahami oleh para basir.
Sambil berdoa, tangan Upu mengambil sejumput beras yang sudah berlumur darah lalu dilemparkan ke beberapa arah di sekitar pondok.
Setelah itu, Merlin dan beberapa kawannya mulai memasang seutas tali rotan sepanjang sekitar 5 meter lalu diikatnya ke tiang-tiang kayu yang disiapkan tadi.
Tali itu membentang memalang sebuah jalan yang baru dibuka oleh pemilik perkebunan. Terlihat jelas puluhan pohon tumbang tetapi rapi membentuk blok-blok kawasan tanam sawit.
Setelah tali dibentang, daun-daun sawang diikatkan di tali-tali itu. Pada badan daun itu dibuat simbol salib dengan kapur putih. ”Saya memanggil roh-roh nenek moyang supaya datang menjaga wilayah yang sudah berbatas ini,” ujar Upu.
Upu menjelaskan, hinting berarti tanda batas, sedangkan pali berarti larangan atau pantangan. Tali-tali itu menunjukkan batas wilayah atau kawasan yang diklaim warga adalah kebun mereka dan sudah turun-temurun digarap. ”Yang melanggar batas ini, apalagi merusak, akan dikenai sanksi adat. Namun, sanksi itu dari roh-roh nenek moyang," tambah Upu.
Uruh Kalara (63), warga Lawang Uru, sudah sejak 1983 mengerjakan lahan seluas 4 hektar, yang kini menjadi kebun sawit PT Agrindo Green Lestari (AGL). Ia belum menerima ganti rugi walau lahannya diambil.
”Sudah kehabisan akal, bagaimana lagi kami harus menyampaikan keluhan ini. Tiga tahun belakangan sama sekali tidak ada yang mau membantu. Selama itu juga saya tidak bisa berladang,” ungkap Uruh.
Hal serupa dirasakan Merlin dan warga yang hadir pada ritual itu. Sebulan lamanya mereka menyiapkan ritual tersebut. Ada sekitar 200 hektar kebun karet yang diklaim warga berubah menjadi kebun sawit.
Menanggapi hal itu, Manajer Penanaman PT AGL Sugiono mengatakan, terjadi kesalahpahaman antara perusahaan dan warga terkait pelepasan lahan. Namun, ia berjanji akan mendengarkan masyarakat dan mencari jalan keluar agar tidak terjadi konflik berkepanjangan.
”Dengan ritual ini, kami menerima sepenuhnya, yang penting tidak mengganggu akses kendaraan kami. Intinya, semua berjalan baik. Kami juga akan lebih sering berkomunikasi dengan petani,” kata Sugiono.
PT AGL mendapatkan izin sejak 2011 dan lalu izin pelepasan lahan pada 2014 dengan luas 9.834 hektar. Sebagian lahan baru mulai dibuka sejak 2015 hingga sekarang.
Jalan keluar
Budayawan Kalimantan Tengah, Linggua Sanjaya Usop, menjelaskan, hinting pali ibarat ”garis polisi” dengan tujuan meminta nenek moyang untuk menjaga kawasan berbatas.
Dahulu kala ritual ini digunakan saat akan membuka lahan atau kebun petani Dayak agar tidak diganggu atau diserobot petani lain. Bahkan, ritual ini juga berguna untuk mengusir hama tumbuhan di kebun. ”Mereka yang menggelar hinting pali adalah orang-orang yang kalah. Ini perjuangan mereka dalam menuntut hak,” kata Linggua.
Ia menjelaskan, seiring berjalannya waktu, hinting pali menjadi gerakan kontra-hegemoni oleh masyarakat adat Dayak terhadap perusahaan dan pemerintah. Perlawanan itu dilakukan karena merasa hak mereka direnggut tanpa solusi. ”Ini efektif karena dari beberapa kasus, perusahaan langsung mau berkomunikasi dengan petani lalu berbagai tawaran muncul,” kata Linggua.
Ritual hinting pali sudah dilakukan sejak dulu. Pada 2012, warga Kabupaten Murung Raya memasang hinting pali untuk mengusir perusahaan tambang yang merusak area keramat di Kecamatan Tanah Siang Selatan.
Tahun 2016, warga di Tumbang Mantuhe, Kabupaten Gunung Mas, juga memasang hinting pali di kawasan perkebunan sawit. Pada akhirnya, areal yang dipasang itu kemudian diberikan lagi kepada warga dan warga mendapatkan ganti rugi pohon karet yang dirusak.
Dari Data Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalimantan Tengah, pada kurun 2005-2014 terdapat 265 kasus konflik agraria di lahan perkebunan dan pertambangan dengan lahan sengketa mencapai 134.061 hektar di 14 kabupaten/ kota di Kalteng. Sebagian konflik itu belum tuntas.
Selama 2017, tercatat 16 kasus konflik agraria baru dengan luas lahan sengketa 8.566 hektar. Sebesar 80 persen dari kasus-kasus tersebut terjadi di perkebunan sawit. ”Mayoritas konflik dari tahun 2005 masih ada yang belum selesai sampai sekarang. Ini tidak boleh dibiarkan,” ujar Direktur Eksekutif Walhi Kalteng Dimas Novian Hartono.
Dimas menambahkan, hinting pali itu solusi masyarakat Dayak atas minimnya perhatian pemerintah dalam penyelesaian konflik agraria. Dengan ritual itu, warga mengharap perhatian pemerintah dan perusahaan.
”Kehilangan kebun berarti kehilangan pekerjaan. Harus diingat, kebun bagi mereka bukan cuma harta, melainkan juga tanggung jawab terhadap keberlangsungan budaya,” kata Dimas.
Gubernur Kalteng Sugianto Sabran telah menggelar rapat khusus bersama Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Pemerintah Provinsi Kalteng guna membahas berbagai konflik di perkebunan sawit. Rapat melibatkan Dewan Adat Dayak (DAD) Kalteng.
”Selama ini masyarakat menggunakan jalur adat untuk menyelesaikan masalah di perkebunan itu baik, tidak ada ribut-ribut. Kami (pemerintah) harus hadir supaya konflik tidak panjang,” kata Sugianto.