Pengendalian Harus Pertimbangkan Hajat Hidup Jutaan Petani
Oleh
Khaerul Anwar
·3 menit baca
MATARAM, KOMPAS - International Tobacco Grower’s Association (ITGA) menyatakan dukunganya atas pengontrolan dan pengendalian konsumsi tembakau di berbagai negara.
Namun, kontrol dan pengendalian itu bukan saja melihat dampaknya, melainkan dilakukan secara seimbang dan adil, berbasis riset dan ilmu pengetahuan, mengingat juga tembakau sebagai tempat bergantungnya hajat hidup jutaan petani beserta keluarganya.
Hal itu merupakan poin penting pertemuan tahunan ITGA Asia, Selasa (27/3) di Hotel Katamaran Sengggi, Lombok Barat, sekitar 15 km utara Mataram, Lombok, Ibu Kota Nusa Tenggara Barat.
Delegasi Azerbaijan, India, Filipina dan Indonesia yang hadir dalam pertemuan itu kemudian menandatangani deklarasi yang isinya komitmen untuk mengikuti pengendalian produksi tembakau.
Menurut Suseno, Ketua Asosiasi Petani Tembakau Indonesia, tembakau terus menerus mendapat tekanan dari berbagai pihak.
Di Indonesia selain melakukan impor terbatas tembakau seperti adanya Kawasan Bebas Rokok dan kampanye-kampanye, yang tujuannya mengurangi prevalensi dan normalisasi perokok.
Padahal dari cukai rokok saja memberikan kontribusi Rp 147 triliun per tahun bagi devisa negara. Kemudian dari tenaga kerja, budi daya tembakau telah menyerap 6 juta tenaga kerja, selain pasar tembakau sudah jelas, yaitu industri rokok keretek yang menyerap 90 persen dari total produksi tembakau.
“Kalau satu keluarga terdiri atas tiga orang (suami, istri, dan anak), berarti ada 18 juta orang yang terhidupi dari produksi tembakau,” tutur Suseno.
Data ITGA menyebutkan, di India sebagai eksportir dan produsen tembakau terbesar kedua dunia, sebanyak 46 juta orang terlibat dalam rantai pasokan tembakau.
Di Filipina, budi daya tembakau menyediakan lapangan pekerjaan bagi hampir 3 juta orang. Pemerintah Filipina memperoleh lebih dari 100 miliar peso dari pajak dan cukai tembakau.
Sedang Antonia Abrunhosa, Ketua Pelaksana Harian ITGA, pengendalian produksi tembakau perlu ada tanaman pengganti yang komprehensif dan nilai ekonomisnya lebih tinggi dibanding tembakau.
Penelitian yang dilakukan Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) atau Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau juga belum mendapat solusi tanaman pengganti yang bernilai ekonomisnya lebih tinggi.
“Di dalam Pasal 17 FCTC diatur tentang konversi (tembakau) ke tanaman lain, namun faktanya belum ada satu pun laporan untuk satu daerah yang mengatakan petani tembakau yang mengganti tanaman X atau Y yang kemudian hasilnya lebih menguntungkan,” ungkap Antonio. Uji penggantian tanaman tembakau dengan paprika pernah dilakukan di Malawi.
“Hasilnya petani di Malawi mendapat untung dari penjualan paprika. Namun bila petani di banyak negara menanam paprika, dipastikan harga akan menurun karena paprika over produksi. Padahal “satu Malawi saja, produksinya bisa memenuhi kebutuhan paprika dunia,” ucap Antonia.
Berdasarkan persoalan-persoalan itu, anggota ITGA mendeklarasikan beberapa hal yaitu, mengikuti aturan konsumsi tembakau, dan memastikan tembakau adalah produk dari konsumsi yang berkelanjutan, kemudian mencegah dampak dari penurunan produksi tembakau yang berakibat bagi jutaan petani.
Juga mempromosikan tujuan pembangunan berkelanjutan (Sustainable Deveploment Goals/SDGI) kepada komunitas dalam PBB, bahwa tembakau sebagai solusi menghapus kemiskinan dan kelaparan, meningkatkan derajat kesehatan serta meningkatan pendidikan masyarakat.