Alih Fungsi Lahan Tinggi, Restorasi Ekosistem Mendesak
Oleh
Dionisius Reynaldo Triwibowo
·3 menit baca
Kompas/Dionisius Reynaldo Triwibowo
Warga Desa Lawang Uru, Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah melintasi jalan di sekitar perkbunan sawit yang bersengketa, Sabtu (12/3). Alih fungsi lahan besar-besaran menimbulkan banyak konflik agraria di Kalimantan Tengah.
PALANGKARAYA, KOMPAS – Restorasi ekosistem mendesak dilakukan di Kalimantan Tengah. Pasalnya, hutan di Kalimantan Tengah diprediksi akan terus menyusut tanpa memberikan kontribusi langsung pada masyarakat.
Hal tersebut mengemuka dalam diskusi “Kalimantan Tengah Menuju 2030” yang diselenggarakan oleh Lembaga Studi Dayak 21, Universitas Passau Jerman, Universitas Kristen Palangka Raya, dan Universitas Indonesia di Palangkaraya, Selasa (20/3). Diskusi tersebut membahas tentang kondisi lingkungan di Kalimantan Tengah dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) di tahun 2030.
Manajer Advokasi Save Our Borneo Habibi mengatakan, masa depan hutan di Kalimantan Tengah menjadi lebih baik ketika terjadi integrasi gerakan civil society. Artinya pengelolaan sumber daya alam tidak bisa sepenuhnya diberikan kepada pemerintah saja.
“Evaluasi lagi izin-izin korporasi, pulihkan kawasan yang sudah terlanjur rusak, dan mulai membangung gerakan masyarakat. Di mulai dari penguatan ekonomi di lahan gambut,” ungkap Habibi di sela-sela diskusi.
Dari data Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalimantan Tengah tercatat, luas tutupan hutan tahun 1990 sebesar 11,05 juta hektar (ha) dan menyusut menjadi 7,8 juta ha di tahun 2014. Selama 24 tahun luas tutupan yang hilang sebesar 3,1 juta ha atau rata-rata 132,402 ha per tahun.
Hilangnya tutupan hutan tersebut terjadi karena tingginya alih fungsi lahan ke perkebunan dan pertambangan. Data Dinas Perkebunan Provinsi Kalimantan Tengah, terdapat 327 unit izin perkebunan besar (PB) dengan luas 3,9 juta ha. Rinciannya, 177 unit sudah beroperasi dengan luas sebesar 1,8 juta ha sedangkan yang belum operasional sebanyak 150 unit dengan luas 2,05 juta ha.
Habibi mengatakan, pada sektor pertambangan masih banyak perusahaan-perusahaan tambang yang belum sepenuhnya menjalankan kewajiban. Ia mencontohkan di Desa Gunung Karasi, Kabupaten Barito Timur perusahaan batu bara menyisaka lubang tambang yang merusak sungai tanpa adanya reklamasi meski izin sudah berakhir.
“Kalau tidak ada evaluasi dan pengawasan maka ke depan kami pesimis lingkungan di Kalteng bisa baik dan petani sejahtera,” ungkapnya.
Peneliti dan Dosen Kehutanan dari Universitas Palangka Raya Afentina Salyapati mengatakan, harus ada pendekatan berbeda dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat tanpa harus merusak lingkungan. Masyarakat harus dilihat dari bagian ekosistem itu juga karena dampak kerusakan ekosistem secara langsung dirasakan masyarakat.
“Besarnya kerugian karena kerusakan lingkungan bisa jadi lebih besar dari pendapatan daerah yang masuk karena investasi dan alih fungsi lahan besar-besaran,” kata Afentina.
Sejalan dengan itu, Gubernur Kalimantan Tengah Sugianto Sabran mengatakan, dalam pengelolaan sumber daya alam pihaknya juga menginginkan para pengusaha menaati aturan yang berlaku. Masih banyak perusahaan di Kalteng yang belum menjalankan kewajibannya.
“Saya juga tidak mau alam Kalteng ini rusak saja, tetapi masyarakatnya tidak dapat apa-apa,” ungkap Sugianto.
Restorasi gambut
Kompas/Dionisius Reynaldo Triwibowo
Rombongan Badan Restorasi Gambut (BRG) RI sedang memantau sumur bor yang di buat di Kabupaten Pulang Pisau pada akhir tahun lalu. Sumur bor berfungsi untuk memadamkan api ketika kebakaran hutan dan lahan terjadi juga untuk membasahi lahan kering.
Baik pemerintah pusat maupun daerah saat ini sedang berusaha merestorasi lahan gambut. dari data Badan Restorasi Gambut (BRG) RI, Kalimantan Tengah memiliki areal restorasi lahan gambut seluas 713.076 ha.
Restorasi gambut memiliki tiga cara yakni, pembasahan, penanam kembali, dan revitalisasi masyarakat di sekitar lahan gambut.
Deputi Edukasi, Sosialisasi, Partisipasi, dan Kemitraan Badan Restorasi Gambut (BRG) Myrna Safitri mengatakan, selama ini pihaknya berupaya mengenalkan kekayaan ekosistem gambut dalam pengelolaan yang baik. Dengan pengelolaan yang baik akan mampu memberikan manfaat ekonomi kepada masyarakat.
“Di Kapuas, budidaya ikan air tawar itu potensinya luar biasa. Nah, sayang sekali kalau tidak dimanfaatkan,” ungkap Myrna.
Pendekatan langsung ke masyarakat itu dinilai menjadi yang paling efektif sebagai bagian dari merestorasi ekosistem di Kalimantan Tengah. Menurut Myrna, tanpa menyejahterahkan masyarakat, hutan akan sulit dilindungi. (IDO)