Tangguh di Tengah Bencana
Perempuan bukan makhluk lemah. Di tengah bencana, mereka tampil menginisiasi jalan keluar. Sesuai naluri sebagai pemelihara, mereka mengambil peran menyediakan makanan serta memelihara lingkungan.
Hujan seperti tak berhenti turun dari langit Andir, Kabupaten Bandung, sejak akhir Februari 2018, memicu banjir.
Bulan Maret, banjir pernah setinggi 240 cm, merendam 4.000 rumah yang dihuni 14.222 warga Andir. Sebagian penghuni harus mengungsi atau mencari kontrakan sementara. Sebagian lain memilih bertahan, tinggal di lantai dua rumah mereka.
Evi Rohimah (40), warga RT 001 RW 013 Andir, merupakan warga yang bertahan. Isi warung kelontongnya ia boyong ke lantai dua, berimpitan dengan tempat tidur dan lemari baju.
”Saya merasa ada tanggung jawab. Menyediakan keperluan warga yang bertahan di rumah,” katanya, Selasa (6/3).
Selasa pagi, ia turun lewat tangga darurat dari jendela lantai dua rumahnya. Naik sampan yang dikemudikan suaminya menuju posko banjir yang berjarak 200 meter dari rumahnya.
Di posko, Evy menggawangi dapur umum sejak dua tahun terakhir. Bahan masakan untuk 30 warga yang bertahan di rumah didapat dari iuran warga dan donatur.
Sekitar 10 ibu lain tak pernah absen menyumbang tenaga. Saat para bapak hilir mudik mengemudikan perahu mengantar warga beraktivitas, para ibu meracik bumbu, menumis sayur, menggoreng lauk, kemudian membungkusnya untuk diantar kepada korban banjir. ”Kami ingin meringankan beban sesama saat banjir,” ujar Evy.
Meski tampak sederhana, peran mereka sangat besar. Karya mereka membantu orang lanjut usia ataupun mereka yang kesulitan makanan di rumahnya.
”Dulu, dapur umum sekitar 5 kilometer dari sini, di kantor Kecamatan Baleendah. Sekarang, jauh lebih dekat,” katanya.
Setelah dua tahun, kini dapur umum RT 001 dipercaya memasak untuk 100 orang per hari bagi warga RW 013. Jumlah ibu-ibu relawan di dapur pun bertambah hingga 20 orang.
”Setiap hari, ibu-ibu yang membantu makin banyak. Banjir semakin menguatkan kebersamaan,” ujar Evy.
Tasih (39), warga RT 002 RW 013 Andir, salah satu juru masak, merasakan kebersamaan itu. Ia kini jauh lebih peduli terhadap sesama saat banjir.
Tasih mengakui, dulu dirinya sibuk mengungsi dan cari kontrakan sementara selama banjir.
”Pikir-pikir, ketimbang diam di pengungsian, bekerja di dapur umum lebih bermanfaat. Ada rasa bangga saat bisa membantu orang di sekitar kita,” katanya.
Sampah sejahtera
Pemicu banjir tak berubah. Selain curah hujan, tumpukan sampah yang menyumbat saluran air juga jadi penyebab. Kondisi itu membuat Fifie Efendie (53) merasa perlu mengubah. Ia pun memperkenalkan nilai ekonomi sampah dan mendorong kewirausahaan warga.
Empat tahun lalu ia mendirikan Bank Sampah Bersinar (BSB) di Dayeuhkolot, Kabupaten Bandung. Letaknya tak jauh dari titik banjir Dayeuhkolot, tepi Sungai Citarum.
Kini, anggota BSB sebanyak 7.000 orang. Dengan harga 1 kg sampah hasil pemilahan Rp 1.500-Rp 2.000 per kg, tabungan BSB tahun ini Rp 200 juta.
Untuk meningkatkan ekonomi warga, Fifie menggagas mal kaki lima yang menyediakan beragam pakaian untuk dijual kembali. Sejumlah pakaian wanita dipajang dengan gantungan khusus. Beberapa baju untuk anak dan laki-laki ditumpuk rapi. Harganya Rp 5.000-Rp 15.000 per helai. ”Ini bukan baju bekas, tapi langsung dari pabriknya,” ujarnya.
Peminat baju-baju itu sangat banyak. Sejak Januari 2018 hingga kini terjual 500 potong. Tak semua baju dibeli dengan uang. Sebagian dibeli menggunakan voucer tabungan penjualan sampah.
Usaha Fifie membuahkan hasil. Dalam sebulan, rata-rata ada 1 ton sampah dikumpulkan. Sembari mendorong lebih banyak pemanfaatan sampah, dia menyusun langkah membuka sekolah dan klinik berbasis pemilahan dan penjualan sampah.
”Sudah ada perguruan tinggi dan BUMN yang tertarik bekerja sama. Tujuannya, sampah jangan lagi memicu bencana, tapi bisa membuat hidup sejahtera,” ucapnya.
Serupa Fifie, langkah meringankan warga juga dilakukan Susi Sugiarti (41) di Kota Bandung. Sejak tahun 2011, ia setia mempromosikan sanitasi ideal di sekitar tempat tinggalnya di RW 001 Kelurahan Rancanumpang.
Hidup bersih dan sehat
Rancanumpang berada sekitar 12 kilometer dari pusat Kota Bandung. Letaknya di pinggir Sungai Cinambo, anak Sungai Citarum. Tinja yang dibuang ke Cinambo, lanjut Susi, berpotensi mencemari kehidupan masyarakat yang berada di pinggir Sungai Citarum.
Susi menuturkan, bentuk promosinya beragam. Mulai dari mengingatkan untuk hidup bersih lewat pelantang suara di masjid hingga anjuran membuat jamban bagi warga yang sedang membangun rumah.
Menurut Susi, akibat minimnya pengetahuan, dulu tinja dibuang begitu saja ke sungai. Aktivitasnya bahkan terjadwal. Anak-anak pada pagi hari, ibu-ibu di siang hari, dan lelaki saat malam datang. Miris melihat hal itu, ia pun bergerak.
Awalnya tak mudah bagi Susi melakukan penyuluhan untuk mengajak warga hidup sehat. Sebagian warga menolak, tapi dia tak menyerah. Untuk memberi contoh, ia membangun septic tank di rumahnya. Setelah beberapa kali sosialisasi, warga mulai sadar dan membangun septic tank di rumah masing-masing.
”Tahun 2015, Dinas Kesehatan Kota Bandung menetapkan Rancanumpang berstatus bebas buang air besar sembarangan. Status itu membuat Rancanumpang memboyong penghargaan Kelurahan Terbaik Kota Bandung di tahun yang sama,” tuturnya.
Kini, semuanya telah berjalan, tetapi Susi tak ingin berhenti. Promosi sanitasi sejak dini terus dijaga lewat lembaga pendidikan anak usia dini (PAUD) RW 001 Kelurahan Rancanumpang. PAUD ini didirikan warga delapan tahun lalu. Materi tidak membuang sampah sembarangan hingga pentingnya septic tank terus disampaikan.
”Bila disampaikan sejak dini, pemahaman hidup sehat akan gampang diserap. Mudah-mudahan semuanya abadi,” ujar Susi.
Lewat tangan cekatan, kemauan tinggi, dan tekad kuat, perempuan di daerah bencana membuktikan kerelawanan tak memandang perbedaan. Saat semua dilakukan dengan cinta, kiprah mereka menuntun orang lain di sekitarnya lebih cerdas saat tinggal di daerah bencana. (Cornelius Helmy/Samuel Oktora)