JAYAPURA, KOMPAS — Kajian Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan Provinsi Papua mengungkapkan, kualitas guru di Provinsi Papua masih rendah. Hal ini terlihat dari hasil uji kompetensi guru yang menunjukkan ribuan guru tak lulus karena nilainya di bawah standar.
Hal ini disampaikan Kepala Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan (LPMP) Provinsi Papua Adrian Howay saat ditemui di Jayapura, Selasa (13/3). Adrian menuturkan, uji kompetensi guru (UKG) terakhir pada tahun 2017 diikuti 2.564 guru dari 28 kabupaten dan 1 kota di Papua.
Namun, guru yang lulus tes UKG hanya 163 orang. Padahal, tes UKG juga menjadi salah satu syarat untuk mengikuti pendidikan latihan profesi guru di LPMP.
”Hasil ini menunjukkan kualitas guru di Papua masih rendah. Papua menempati peringkat kedua untuk guru yang tidak lolos UKG terbanyak. Peringkat pertama adalah Papua Barat. Nilai para guru yang belum lulus tak mencapai nilai batas bawah 56 untuk guru umum dan 60 untuk kejuruan,” tutur Adrian.
Hasil UKG, ujarnya, menunjukkan bahwa para guru jarang mengasah keterampilannya dan belajar. Sebab, sebenarnya soal-soal dalam empat tes UKG tidaklah sulit karena menyangkut keahlian dan rutinitas mereka sehari-hari sebagai guru. Keempat tes tersebut meliputi pedagogi, profesional, potensi akademik, serta bakat dan minat.
Dari hasil tes UKG, banyak guru di Papua yang gagal dalam tes pedagogi. Padahal, pedagogi menyangkut metode pengajaran yang digunakan guru.
”Dari hasil kajian kami di sejumlah kabupaten pemekaran, terungkap banyak guru yang meninggalkan tempat selama seminggu hingga berbulan-bulan untuk keperluan tertentu,” kata Adrian.
Banyak guru di Papua yang gagal dalam tes pedagogi. Padahal, pedagogi menyangkut metode pengajaran yang digunakan guru.
Selain itu, lanjut Adrian, para siswa juga tidak mendapatkan jam belajar yang ideal, yakni 24 jam per minggu, tetapi minimal hanya 10 jam per minggu. Hal ini juga berdampak terhadap kualitas pendidikan muridnya.
Ia menambahkan, proporsi anggaran pendidikan di setiap kabupaten juga masih di bawah angka 10 persen. Dana itu pun hanya digunakan untuk pembiayaan gaji dan tunjangan guru. Padahal, semua pemerintah daerah diwajibkan menyediakan 30 persen anggaran otonomi khusus Papua untuk sektor pendidikan.
Guru berstatus pegawai negeri sipil di Papua bisa mendapatkan gaji sebesar Rp 3 juta hingga Rp 10 juta. Hal ini ditentukan oleh golongan kepangkatan, masa kerja, besaran tunjangan profesi, dan tunjangan kemahalan di daerah yang sulit diakses.
”Belum ada komitmen yang maksimal dari pemda setempat untuk pembiayaan kegiatan pelatihan bagi guru. Sebenarnya, mereka tidak hanya belajar saat di bangku kuliah, tetapi juga ketika sudah menjadi guru di sekolah,” ucap Adrian.
Sekretaris Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Papua Protasius Lobya ketika dikonfirmasi mengakui belum adanya komitmen dari pemda setempat untuk penyediaan anggaran sehingga bisa meningkatkan kualitas sektor pendidikan.
Selain itu, banyak guru yang mangkir karena sejumlah faktor, mulai dari lokasi pembayaran gaji yang jauh di pusat kabupaten, keamanan, kesejahteraan, hingga minimnya kegiatan pemberdayaan.
”Dalam setiap rapat koordinasi bersama jajaran dinas pendidikan dari 28 kabupaten dan 1 kota, kami selalu mengingatkan mereka agar mengoptimalkan anggaran otonomi khusus sebesar 30 persen untuk kegiatan sektor pendidikan dan peningkatan kualitas guru,” kata Protasius.