REMBANG, KOMPAS — Selain modal, kesiapan sumber daya manusia menjadi kendala dalam proses peralihan cantrang ke alat tangkap ramah lingkungan di Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Sejumlah pemilik kapal menyiasati dengan mempekerjakan sebagian anak buah kapal asal Indramayu untuk kapal jaring insang (gillnet).
Ketua Asosiasi Nelayan Dampo Awang Bangkit, Kabupaten Rembang, Suyoto, saat dihubungi dari Semarang, Senin (5/3), mengatakan, di Rembang, minim SDM yang terbiasa menggunakan jaring insang. Karena itu, kapal asal Rembang yang beralih memakai jaring insang banyak mempekerjakan nelayan Indramayu, Jawa Barat.
”Nelayan asal Indramayu terbiasa dengan gillnet. Dari awak kapal 20-23 orang, kami sertakan 4-5 orang anak buah kapal asal Rembang agar bisa belajar. Proses menyiapkan SDM butuh waktu tidak sebentar,” kata Suyoto.
Dari sekitar 200 kapal cantrang di Rembang, menurut Suyoto, baru 5 kapal beralih alat tangkap yang dianjurkan pemerintah. Kapal Suyoto melaut hingga Laut Arafura dan berlabuh di Pelabuhan Pomako, Kabupaten Mimika, Papua. Biaya renovasi kapal cantrang ke jaring insang sekitar Rp 3,6 miliar.
Suyoto mengatakan, pada keberangkatan pertama, tahun 2016, kapalnya melaut selama 5 bulan. ”Salah satu kendala adalah kerusakan kapal akibat ombak di Laut Banda. Saya rugi Rp 500 juta. Kapal harus kuat,” katanya.
Ketersediaan kapal angkut ikan juga terbatas. Butuh waktu hampir seminggu untuk antre mendapat kapal angkut. Dia berharap, jumlah kapal angkut ditambah guna memfasilitasi pengiriman ke sejumlah sentra pasar ikan Pulau Jawa.
Sebelumnya, Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan, Sjarief Widjaja menyatakan komitmen menambah kapal angkut di wilayah timur Indonesia.
Nelayan asal Kabupaten Pati, Siswo Purnomo (42), mengatakan, satu dari tiga kapal miliknya telah berganti alat tangkap ke pukat cincin (purse seine). Kapal itu hasil patungan. Satu kapal lain sedang dalam proses renovasi, satu lagi masih melaut dengan cantrang.
Kapal pukat cincin melaut ke Samudra Hindia, di selatan Kabupaten Banyuwangi, menangkap ikan layang dan cakalang.
Status nelayan Filipina
Kementerian Kelautan dan Perikanan menganggap nelayan asal Filipina keturunan Sangihe yang hidup tanpa status kewarganegaraan di Bitung, Sulawesi Utara, merupakan nelayan asing. Hal itu berdampak buruk terhadap kemajuan industri perikanan di Bitung.
Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Sulut Ronald Sorongan di Manado, Senin, mengatakan, status nelayan asing membuat setiap kegiatan yang mereka lakukan di laut melanggar hukum. Padahal, mereka tidak memiliki kewarganegaraan Filipina ataupun Indonesia.
Nelayan Filipina keturunan Sangihe memiliki daya tahan bekerja di laut sehingga banyak pemilik kapal ikan di Bitung menggunakan jasa mereka.
Masalah status kewarganegaraan itu mengemuka dalam acara Temu Koordinasi Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan di Jakarta beberapa waktu lalu. ”Menteri (Susi Pudjiastuti) meminta status warga negara diselesaikan secepatnya agar tidak terjadi illegal fishing,” ujarnya.
Kapal Malaysia disergap
Kapal penangkap ikan berbendera Malaysia, yang masuk perairan Indonesia di Kalimantan Utara tanpa izin, disergap. Kali ini di perairan Karang Unarang, Nunukan. Seperti sejumlah penyergapan sebelumnya, kru kapal itu adalah warga Indonesia.
Kasubdit Penegakan Hukum Polisi Perairan Kepolisian Daerah Kalimantan Timur Komisaris Harun Purwoko, Senin, mengatakan, Ditpolair Polda Kaltim menangkap kapal bernomor lambung TW 3518/6/F, Minggu (4/3) malam. Kapal patroli polisi curiga karena kapal berlayar dalam kondisi gelap, tidak menyalakan lampu navigasi. Kapal kayu lalu didekati dan diperiksa. Ditemukan penangkap ikan jenis pukat harimau (trawl) tanpa dilengkapi surat izin sah.
Muatan kapal kayu bermesin diesel 190 HP itu berisi ikan berbagai jenis. Pengemudi kapal, Rud, dan satu ABK, Har, dimintai keterangan oleh polisi. Pemilik kapal, Kel, warga Malaysia.
”Kapal sudah masuk perairan Indonesia lebih kurang 2 mil (sekitar 3,2 km). Namun, pura-pura tidak tahu,” ujar Harun.
Banyak kapal penangkap ikan berbendera Malaysia disergap di Karang Unarang. Yang termasuk besar, awal Juli 2015. Kapal TW 3550/6/F disergap prajurit TNI dari KRI Ki Hajar Dewantara. Barang bukti yang disita 10 ton ikan. (DIT/ZAL/PRA)