BITUNG, KOMPAS — Wisata minat khusus pengamatan satwa endemik di Sulawesi Utara makin diminati. Itu terindikasi dari meningkatnya jumlah wisatawan ke Taman Wisata Alam Batuputih, Kota Bitung, Sulawesi Utara, dalam lima tahun terakhir. Pengunjung didominasi wisatawan mancanegara.
Kepala Resor Cagar Alam Tangkoko yang membawahkan Taman Wisata Alam (TWA) Batuputih Jenly Gawina menyatakan, sejak 2013 wisatawan mencapai 10.000 orang per tahun. Pada masa puncak kunjungan, yakni Juli-September, setiap hari tercatat 100 wisatawan atau 3.000 per bulan. Pengunjung kebanyakan berasal dari luar negeri, terutama dari negara-negara Eropa dan Amerika Serikat, lalu terakhir dari Asia, khususnya China. Sebelum 2013, wisatawan tercatat per bulan tak lebih dari 500 orang.
TWA Batuputih merupakan bagian dari Cagar Alam Tangkoko. Kawasan konservasi tersebut kaya akan satwa endemik Sulawesi dan Sulawesi Utara. Satwa endemik Sulawesi, antara lain tarsius (Tarsius spectrum), kuskus (Ailurops ursinus), dan burung rangkong (Penelopides exarhatus). Sementara satwa endemik Sulawesi Utara kera hitam sulawesi atau yaki (Macaca nigra).
Jenly menyebutkan, meningkatnya jumlah wisatawan dipengaruhi berkembangnya teknologi komunikasi dan informasi. ”Wisatawan dengan cepat menyebarkan informasi terkait kegiatan mereka dan itu menjadi promosi bagi wisatawan lain,” ujarnya di Bitung, Kamis (1/3).
Saat rombongan Kompas memasuki TWA Batuputih, terlihat dua wisatawan mancanegara baru pulang dari hutan. Mereka dibimbing oleh pemandu lokal.
Nestor Mirontoning (56), petugas TWA Batuputih, menyatakan, wisatawan mancanegara mulai mengunjungi kawasan konservasi tersebut sejak peneliti asing menulis tentang kekayaan satwa di sana pada akhir 1978.
Beruntung
Saat menjelajah kawasan TWA Batuputih pada Kamis, tim Kompas yang beranggotakan wartawan Kompas Aris Prasetyo, Videlis Jemali, dan fotograger Kompas Wawan H Prabowo berkesempatan mengamati secara kasatmata sejumlah satwa, seperti tarsius, kuskus, burung rangkong, dan burung raja udang (Cittura cyanotis).
Tarsius diamati di dalam rongga pohon beringin di jalur pengamatan. Ini termasuk beruntung karena biasanya satwa mungil yang tergolong nokturnal tersebut baru bisa disaksikan pada malam hari saat keluar mencari makanan berupa serangga. Tarsius tidur pada siang hari.
”Kita sangat beruntung karena bisa melihat tarsius pada siang hari. Ini pemandangan yang sangat jarang terjadi,” ujar Nestor yang memandu tim Kompas ke dalam hutan.
Saat berada di lokasi, terdengar begitu ragam kicauan burung. Berdasarkan informasi yang disampaikan Nestor, burung-burung yang berkicau tersebut antara lain rangkong dan raja udang. Sayang, penjelajahan sekitar empat jam tersebut tak berhasil menemukan yaki, yang merupakan satwa ikonik TWA Batuputih.