Dua hari menjelang perayaan Cap Go Meh, sudah menjadi tradisi di Kota Singkawang, Kalimantan Barat, menggelar Pawai Lampion. Acara itu menyita perhatian pengunjung meskipun sudah menjadi agenda tahunan.
Rabu (28/2) malam, halaman Kantor Wali Kota Pontianak dipadati peserta pawai. Ada 80 kelompok peserta mengikuti acara itu dari berbagai etnis, agama, komunitas masyarakat, kalangan swasta, dan pemerintah.
Puluhan mobil dihias berbagai rupa, seperti menyerupai kapal, dilengkapi layar yang terkembang. Kemudian di atas ”kapal” itu dihiasi puluhan lampion dengan berbagai bentuk, ada yang bulat, ada yang memanjang. Di sejumlah bagian diberi lampu berwarna-warni, menambah semarak suasana. Tak hanya itu, mobil-mobil hias juga ada yang diberi sentuhan rumah khas Tionghoa. Di bagian depannya terdapat patung anjing tanah yang merupakan shio tahun ini.
Mobil-mobil itu ditumpangi peserta pawai. Mereka umumnya menggunakan pakaian Tionghoa, pakaian khas di kerajaan-kerajaan China tempo dulu. Ada juga yang menggunakan pakaian etnis lain, seperti Dayak dan Melayu, sebagai simbol keberagaman dalam acara pawai malam itu. Musik Mandarin dan musik dari etnis lain ikut menggema.
Sekitar pukul 19.00, gendang pun ditabuh pertanda pawai dimulai. Perjalanan beriringan menyusuri jalan-jalan utama di Singkawang. Di barisan terdepan kelompok atraksi naga, disusul kelompok barongsai, barisan kelompok para penarik becak, barisan mobil hias, kemudian kelompok marching band siswa-siswa di Singkawang. Gemerlap ribuan lampu lampion itu membuat suasana begitu memikat.
Di jalan-jalan utama, ribuan warga Singkawang berjajar di tepi jalan, menunggu peserta melintas. Anak-anak naik ke bahu orangtuanya agar bisa menyaksikan momen setahun sekali itu. ”Acara ini selalu ditunggu setiap tahun,” kata Siswanto (35), salah satu pengunjung.
Saat mobil-mobil hias dan peserta Pawai Lampion melintas, warga terus menahan laju mereka dengan mengajak berfoto di pinggir jalan dengan latar belakang mobil hias. Mobil-mobil hias itu sesekali berhenti, memberi kesempatan warga untuk berfoto. Masyarakat dari berbagai golongan suku dan agama berbaur menjadi satu. ”Saya dan keluarga sengaja ke Singkawang hari ini (Rabu) untuk menyaksikan acara ini. Acaranya menghibur. Semoga setiap tahun acara dapat dikemas semakin beragam lagi dengan bentuk yang lebih menarik lagi,” kata Anisa (30), pengunjung asal Pontianak.
Koordinator Pawai Lampion, Budiman, mengatakan, lampion adalah simbol penerang yang memberikan penerangan kepada masyarakat. Harapannya, di tengah zaman yang terus berkembang dengan berbagai tantangannya, masyarakat dan bangsa Indonesia akan terus diberi terang guna menapaki perjalanan ke depan yang semakin jauh dan sanggup melewati segala rintangan dan tantangan.
Peserta yang ikut dalam festival ini pun multi-etnis. Fakta ini juga menunjukkan bahwa Singkawang sebagai kota pluralis dan toleran. Hal itu dipertegas lagi dengan tema Imlek tahun ini, ”Dengan Semangat Festival Cap Go Meh Memperkokoh Semangat Kebinekaan, NKRI, Pancasila, dan UUD 1945”.
Kota Singkawang boleh dibilang sebagai kota seribu kelenteng. Di kota ini, dari sekitar 176.000 penduduknya, sekitar 40,36 persen warga Tionghoa. Disusul Melayu 36,7 persen, Dayak 7,26 persen, dan sisanya etnis lain, seperti Madura. Festival ini digelar tidak semata-mata untuk promosi pariwisata, tetapi lebih menegaskan Singkawang adalah kota Bhinneka Tunggal Ika. (Emanuel Edi Saputra)