KUPANG, KOMPAS — Sejak 1 Januari hingga 25 Februari, Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur mengirim 1.000 ekor sapi ke DKI Jakarta untuk memenuhi kebutuhan daging sapi di daerah itu. Standar bobot sapi ditetapkan pemerintah 275 kilogram per ekor, tetapi jenis sapi NTT hanya 250 kg per ekor. Kuota pengiriman sapi dari NTT pada 2018 sebanyak 70.000 ekor. Pengusaha setempat berada di posisi sulit menghadapi peternak dan tuntutan pemerintah soal syarat sapi yang harus dikirim.
Kepala Dinas Peternakan NTT Danny Suhadi di Kupang, Rabu (28/2), mengatakan, pengiriman 1.000 ekor sapi selama 55 hari itu menggunakan Kapal Ternak Camara Nusantara I. Kapal lain yang direncanakan turut mengangkut sapi dari NTT masih dalam proses melengkapi administrasi.
”Sesuai rencana, ada lima kapal mengangkut ternak dari NTT dalam tahun 2018. PT Pelni dan ASDP Kupang masing-masing mengelola dua unit, dan satu unit kapal dilelang kepada pihak swasta. Selain penambahan kapal, biaya pengiriman pun naik dari Rp 300 per ekor menjadi Rp 700 per ekor,” kata Suhadi.
Persoalan yang dihadapi peternak adalah bobot sapi yang ditetapkan pemerintah, yakni minimal 275 kg per ekor, sementara jenis (genetik) sapi dari NTT paling tinggi berbobot 250 kg per ekor. Untuk mencapai bobot sapi 250 kg, petani harus menunggu 3 tahun. Sementara untuk mencapai bobot sapi 275 kg, butuh waktu sampai 4 tahun.
Ketua Asosiasi Ternak Sapi dan Kerbau NTT Dicky Budianto mengatakan, pengusaha menghendaki bobot sapi seharusnya 300 kg per ekor, bukan 275 kg. Makin tinggi bobot sapi, pengusaha tidak dirugikan. Namun, para peternak membutuhkan uang sehingga cenderung menjual sapi dengan bobot hanya sampai 250 kg. Menunggu bobot sapi sampai 275 kg butuh 3 tahun.
”Mereka (peternak) bergantung pada ternak. Jika tidak menjual sapi, mereka kesulitan mendapatkan uang untuk biaya hidup sehari-hari. Lagi pula jumlah sapi di tingkat petani hanya 20-100 ekor per keluarga. Tidak ada petani yang memiliki ternak sapi lebih dari 100 ekor karena terkait dengan pakan yang terbatas dan lahan penggembalaan yang sempit,” papar Budianto.
Kondisi itu membuat pengusaha lokal dalam posisi tertekan. Petani tidak mau menimbang sapi dalam proses jual beli. Mereka hanya memperlihatkan sapi, lalu menentukan harga, dan pengusaha pun terpaksa membeli. Bobot sapi hidup itu di bawah 250 kg. Petani sadar, kalau bobot di bawah 250 kg, tidak akan diambil pengusaha sehingga tidak bersedia menimbang.
Saat pengangkutan dari tempat karantina masuk ke kapal, pemerintah pun mewajibkan pengusaha lokal agar sapi-sapi itu ditimbang. Apabila ditemukan bobot sapi di bawah 275 kg per ekor, sapi akan dikembalikan. ”Siapa yang rugi, kan, pengusaha lokal. Kalau kami tak beli sapi dari petani sesuai keinginan petani, bagaimana kontrak kerja sama antara Pemprov NTT dan Pemda DKI Jakarta bisa terealisasi. Karena itu, perlu pengertian dari pemerintah dan pengusaha ternak di DKI Jakarta. Kini, mereka mulai mengertik, tetapi perlu perjuangan,” ujarnya.
Pengusaha juga sering kesulitan meyakinkan peternak tentang aturan tata niaga sapi. Pengusaha harus menyetor uang ke petani sesuai permintaan sebelum sapi didatangkan. Misalnya, uang Rp 30 juta untuk 20 ekor sapi. Namun, mereka hanya menyiapkan 10 ekor, lalu sisa 10 ekor minta tambah uang ”sirih pinang” sekitar Rp 200.000 untuk mendapatkan sisa 10 ekor tersebut.
Menurut Max Ndolu, peternak sapi di Kelurahan Liliba, Kota Kupang, berat sapi 275 kg itu hanya bisa terpenuhi selama musim hujan. Itu pun sapi sudah berumur 3 tahun. Musim kemarau, bobot sapi maksimal 240 kg meski telah berumur 3 tahun. ”Kami tidak menyulitkan pengusaha. Semua proses jual beli sesuai kesepakatan antara dua pihak,” kata Ndolu. (KOR)