AMBON, KOMPAS — Lebih dari 100 tanaman sagu di kompleks Universitas Pattimura Ambon, Maluku, dibabat. Dari jumlah itu, 50 pohon di antaranya berada di kebun percontohan yang selama ini menjadi pusat penelitian sagu sejak 1994. Kebijakan rektorat itu menuai kekecewaan sejumlah dosen.
Berdasarkan pantauan Kompas pada Rabu (28/2), areal tanaman sagu dekat gedung fakultas hukum sudah rata dengan tanah. Batang-batang sagu yang dibabat itu ditumpuk di pinggir jalanan kampus.
Sementara itu, di dalam kebun percontohan yang diberi nama Kebun Plasma Nutfah Sagu, beberapa pohon juga ikut dibabat.
Padahal ketika didatangi Kompas pada November tahun 2017, areal itu masih sangat rimbun dan udaranya sangat sejuk. Sejumlah dosen Fakultas Pertanian yang ditemui mengaku kecewa dengan kebijakan rektorat itu.
”Apa lagi yang mau kita banggakan. Sagu ini ikon kita. Sagu ini identitas kita,” kata salah satu dosen yang tidak mau namanya disebut.
Berdasarkan informasi yang kami himpun, pembabatan pohon sagu itu merupakan kebijakan Rektor Universitas Pattimura MJ Sapteno. Ada gedung baru yang akan dibangun di areal bekas tanaman sagu itu. Sapteno sudah membicarakan hal tersebut dengan Dekan Fakultas Pertanian, John Matinahoru.
Kompas berusaha mendatangi John siang tadi di kantornya. Namun, menurut seorang petugas keamanan, John tidak ada di ruangan.
Informasi itu disampaikan setelah petugas mendatangi ruangan John untuk menyampaikan permintaan wawancara dari Kompas. Padahal, mobil dinas John diparkir di depan pintu masuk gedung Fakultas Pertanian.
Kompas lalu menghubungi salah satu pengelola Kebun Plasma Nutfah Sagu, yang juga dosen Fakultas Pertanian Unpatti, Marcus Luhukay. Marcus enggan mengomentari pembabatan tanaman sagu itu.
Dari Marcus diperoleh informasi bahwa Kebun Plasma Nutfah Sagu merupakan labotarium hidup yang kini menjadi satu-satu kebun percontohan sagu di Indonesia.
Di dalam Kebun Plasma Nutfah Sagu itu terdapat lebih kurang 100 tanaman sagu untuk enam jenis, yakni Molat Putih, Molat Merah, Tuni, Ihur, Duri Rotang, dan Makanaru.
Keenam jenis sagu itu semuanya berasal dari Maluku. Kebun Plasma Nutfah Sagu pertama kali dikembangkan tahun 1994. Setelah terbakar saat Ambon dilanda konflik sosial bernuansa agama tahun 1999, kebun itu kembali digarap pada 2011.
Tentang sagu
Wardis Girsang, pengajar pada Program Studi Agribisnis yang juga dari Fakultas Pertanian Unpatti, melihat gejala meredupnya pamor sagu di Maluku.
Selain minimnya dukungan pemerintah untuk pengembangan sagu, redupnya pamor sagu juga karena hilangnya rasa memiliki sagu dari kalangan masyarakat sendiri. ”Kita harus bangga dengan budaya kita,” ujarnya.
Ia membandingkan dengan pangan lokal di daerah lain seperti enbal di Kabupaten Maluku Tengara, Maluku. Dukungan pemerintah untuk mengembangkan pangan lokal membuat enbal kini semakin dikenal. Ada kebijakan daerah yang mewajibkan pegawainya makan makanan enbal setiap hari tertentu.
Ia menambahkan, sagu memiliki banyak keunggulan dibandingkan padi. Sagu tidak memiliki kandungan gula seperti padi yang dapat menimbulkan penyakit gula. Kandungan karbohidrat, baik di dalam sagu maupun beras, adalah sama, yakni 84 gram persen dari total bobotnya.
Untuk tingkat konsumsi air, sagu dapat mengumpulkan air, sedangkan padi menggunakan air dalam jumlah banyak. Satu kilogram membutuhkan air sekitar 4.500 liter air.
Di Maluku, tepung sagu biasanya digunakan untuk membuat papeda, panganan bertekstur lengket. Selain papeda, ada juga sagu lempeng yang dimakan dengan cara dicelupkan dulu ke dalam air panas. Kini, banyak panganan seperti kue kering dan roti yang terbuat dari sagu.