SEMARANG, KOMPAS — Pekerja media, terutama media elektronik dan cetak, yang belum menjadi organik atau karyawan tetap perusahaan penerbit tentu saja membutuhkan penanganan khusus dalam soal kehidupan di masa depan.
Di tengah tuntutan kerja yang tinggi, pekerja media bahkan tidak pernah memikirkan kondisi finansial ataupun kesehatan mereka. Padahal, pekerja media, seperti halnya aparatur sipil negara, juga sangat memerlukan jaminan pensiun.
Sebagai pekerja media, apalagi media televisi yang bertugas di daerah, jauh dari kantor pusat, tentunya mengenai jaminan kesehatan dan finansial menjadi urusan yang ditanggung sendiri oleh pekerja itu.
”Perusahaan kadang kurang memperhatikan, terlebih status pekerja sendiri belum atau tidak akan pernah menjadi karyawan tetap,” ujar Teguh Hadi Prayitno, pekerja media di televisi swasta Jakarta, Selasa (27/2), saat diskusi bertajuk ”Investasi Kesehatan dan Pensiun Pribadi, Now or Never” yang diselenggarakan Forum Wartawan Provinsi Jawa Tengah di aula Kantor Gubernur Jawa Tengah, Semarang.
Acara ini diikuti puluhan pekerja media dan aktivis mahasiswa sejumlah perguruan tinggi di Semarang. Acara dibuka oleh Damar Sinuko, Ketua Forum Wartawan Provinsi Jawa Tengah.
Menurut Teguh Hadi, apabila pekerja media tidak memiliki pekerjaan sampingan, hanya mengandalkan upah yang diterima dari perusahaan media tempatnya bekerja, tentu sangat minim. Minim dalam arti upah itu hanya cukup untuk membiayai kehidupan sehari-hari dan biaya operasional.
Dengan begitu, jaminan kesehatan, apalagi menabung untuk kepentingan masa depan, kadang tidak terpikirkan karena upah yang diterima tidak tersisa.
Rata-rata upah pekerja media di luar wilayah Jakarta juga tidak terlalu banyak. Untuk pekerja media dengan status nonkaryawan, kisaran upahnya Rp 1,5 juta hingga Rp 4,5 juta per bulan.
Dengan upah sebesar itu, tidak ada lagi dana yang bisa ditabung untuk kepentingan penyokong kesehatan sekiranya terjadi gangguan kesehatan yang memaksa pekerja mondok di rumah sakit.
”Jadi, pekerja media itu kalau terganggung kesehatan cukup parah, misalnya, badannya itu sakit dua kali. Ya sakit merasakan tubuhnya tidak sehat, ya sakit karena pusing memikirkan dari mana biaya untuk membayar pembelian obat, biaya kamar opname, juga biaya kunjung dokter di rumah sakit,” tutur Teguh Hadi, yang menjadi peserta Dana Pensiun Lembaga Keuangan (DPLK) sejak 1992.
Wakil Kepala DPLK Bank Jateng Ernawan Sulistyo mengakui, kesadaran pekerja, tidak hanya pekerja media, tetapi juga mereka yang bekerja di sektor nonformal, masih rendah terhadap kepedulian jaminan kesehatan ataupun jaminan hari tua (pensiun).
Khusus pekerja media, mereka biasanya bersedia menjadi peserta program DPLK karena kedekatan dengan pimpinan bank, terutama bagi mereka yang biasa melakukan peliputan kegiatan ekonomi, jasa keuangan, ataupun event Bank Indonesia.
Keterbatasan akses itu terjadi bisa karena tidak memiliki akses, bisa karena merasa belum perlu, atau bisa juga karena kondisi keuangan masih terbatas.
Untuk itu, Bank Jateng sejak 1992 meluncurkan program DPLK. Program DPLK hanya sebagai pelengkap dari program dana pensiun yang sudah disiapkan perusahaan apabila perusahaan itu telah memberikan jaminan kesehatan dan hari tua yang sudah jelas akan dinikmati karyawan atau pekerja.
”Bank Jateng menyiapkan program DPLK itu sesuai amanat Undang-Undang Nomor II Tahun 1992 tentang Dana Pensiun. Dana pensiun yang bisa diikuti dibuat skema yang fleksibel dengan angsuran yang dapat disesuaikan kemampuan finansial peserta,” ujar Ernawan.
Sebagai simulasi, apabila pekerja media mau mengambil dana pensiun mandiri melalui DPLK, dia bebas menentukan sendiri besarnya angsuran per bulan dan batas masa pensiunnya.
Sebagai contoh, saat bekerja usianya 25 tahun, kemudian dia menjadi peserta program DPLK selama 20-30 tahun dengan angsuran per bulan kisaran Rp 50.000 sampai Rp 100.000. Setidaknya, saat pensiun nanti, dia bisa menerima dana pensiun berkisar Rp 250 juta sampai Rp 600 juta, sesuai dengan besaran angsuran yang dia pilih.