Putusan Pengadilan Negeri Yogyakarta Dipertanyakan
Oleh
Haris Firdaus
·3 menit baca
YOGYAKARTA, KOMPAS — Putusan Pengadilan Negeri Yogyakarta terkait kebijakan diskriminasi pertanahan di Daerah Istimewa Yogyakarta dipertanyakan.
Pertanyaan antara lain muncul terkait argumentasi majelis hakim PN Yogyakarta yang menyebut kebijakan diskriminasi pertanahan di DIY tidak bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik.
”Kami menemukan kejanggalan dalam putusan PN Yogyakarta yang menolak gugatan terkait diskriminasi pertanahan di DIY,” kata Direktur Indonesian Court Monitoring (ICM) DIY Tri Wahyu, Senin (26/2) di Yogyakarta.
Seperti diberitakan, PN Yogyakarta menolak gugatan seorang warga bernama Handoko (35) terkait kebijakan diskriminasi pertanahan di DIY yang mengacu pada Instruksi Kepala Daerah DIY Nomor K.898/I/A/1975 tentang Penyeragaman Policy Pemberian Hak atas Tanah bagi Seorang WNI Nonpribumi.
Instruksi yang sampai hari ini masih berlaku itu menyatakan, warga negara Indonesia (WNI) nonpribumi belum bisa memiliki tanah di DIY.
Dalam putusan yang dibacakan pada Selasa (20/2) itu, majelis hakim PN Yogyakarta yang diketuai Cokro Hendro Mukti dengan hakim anggota Sri Harsiwi dan Nuryanto antara lain menyatakan, Pemerintah Daerah (Pemda) DIY memiliki kewenangan istimewa untuk mengatur kebijakan dan peraturan terkait pertanahan dan tata ruang (Kompas, 21/2/2018).
Selain itu, majelis hakim juga menyebut Instruksi Kepala Daerah DIY Tahun 1975 itu tidak bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik.
Namun, Wahyu berpendapat, Instruksi Kepala Daerah DIY Tahun 1975 itu justru tidak sesuai dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik. Berdasarkan Pasal 10 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, asas-asas umum pemerintahan yang baik terdiri atas sejumlah asas, yakni kepastian hukum, kemanfaatan, ketidakberpihakan, kecermatan, tidak menyalahgunakan wewenang, keterbukaan, kepentingan umum, dan pelayanan yang baik.
Wahyu menambahkan, penjelasan Pasal 10 Ayat 1 UU Administrasi Pemerintahan juga menyebutkan sikap tidak diskriminatif sebagai penjabaran terhadap asas ketidakberpihakan, keterbukaan, dan kepentingan umum.
”Artinya, kalau majelis hakim konsisten dengan pengertian asas-asas umum pemerintahan yang baik seperti diatur dalam UU No 30 Tahun 2014, maka Instruksi Kepala Daerah DIY Tahun 1975 harusnya dinyatakan bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik,” ujarnya.
Selain itu, ICM DIY juga menyoroti argumentasi majelis hakim yang menggunakan UU No 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY untuk ”membenarkan” Instruksi Kepala Daerah DIY Tahun 1975.
Menurut Wahyu, argumentasi itu tidak pas karena kewenangan keistimewaan bidang pertanahan yang diatur dalam UU Keistimewaan DIY hanya terkait dengan tanah milik Keraton Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman, bukan tanah milik perseorangan.
”Di sisi lain, ada ketentuan dalam UU Keistimewaan DIY yang melarang Gubernur dan Wakil Gubernur DIY mendiskriminasi warga negara atau golongan masyarakat tertentu,” kata Wahyu.
Sementara itu, meski ada putusan PN Yogyakarta, Ombudsman Republik Indonesia (ORI) Perwakilan DIY tetap meminta Kantor Wilayah (Kanwil) Badan Pertanahan Nasional (BPN) DIY tidak menjadikan Instruksi Kepala Daerah Tahun 1975 sebagai rujukan.
ORI Perwakilan DIY juga meminta Kanwil BPN DIY dan jajarannya segera memproses permohonan penerbitan sertifikat hak milik (SHM) oleh sejumlah warga keturunan Tionghoa.
Hingga saat ini, permohonan penerbitan SHM oleh sejumlah warga keturunan Tionghoa itu tidak diproses karena ada Instruksi Kepala Daerah DIY Tahun 1975. ”Kami pada posisi tetap meminta agar BPN menjalankan saran tindakan korektif dari kami,” kata Kepala ORI Perwakilan DIY Budhi Masthuri.
Sekretaris Daerah DIY Gatot Saptadi mengatakan, menyikapi pro kontra terkait Instruksi Kepala Daerah DIY Tahun 1975, pihaknya berpegang pada putusan yang dikeluarkan PN Yogyakarta.
”Masing-masih pihak punya persepsi sendiri, tapi yang kita pegang ya dari pengadilan,” katanya.