MALANG, KOMPAS - Kearifan lokal perlu dimasukkan sebagai solusi mengatasi penangkapan ikan berlebih. Penyelamatan lingkungan dinilai tak cukup dengan kebijakan membatasi penangkapan ikan saja.
Hal itu menjadi salah satu intisari dari pidato pengukuhan profesor bidang Ilmu Ekonomi Perikanan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Brawijaya, Rabu (21/2) di Universitas Brawijaya Malang.
Dua profesor yang dikukuhkan yakni Mimit Primyastanto, yang mengangkat isu pengelolaan sumberdaya perikanan berbasis local wisdom dan zonasi, serta Nuddin Harahab, yang mengangkat tentang nilai ekonomi ekosistem mangrove dalam perencanaan wilayah pesisir.
Mimit mengambil Selat Madura sebagai daerah penelitiannya. Berdasarkan data, hasil estimasi potensi lestari selat madura hanya 49.506.000 ton namun pada tahun terakhir sumberdaya ikan yang dikeruk dari selat Madura telah mencapai 58.547.000 ton yang artinya telah ditangkap berlebih.
Penangkapan ikan berlebih itu tambah Mimit, sebenarnya bisa diatasi dengan menguatkan lagi kearifan lokal yang telah dimiliki masyarakat. Kearifan lokal yang bisa ditumbuhkan lagi adalah andun. Di Madura nelayan memiliki kebiasaan berpindah lokasi menangkap ikan untuk sementara. Perpindahan itu bisa disebabkan karena cuaca buruk yang biasa datang di bulan Agustus hingga awal November. Perpindahan tempat itu memberi kesempatan ikan untuk berkembang biak.
Kearifan lokal lainya adalah nyabis. Nyabis berarti berkunjung ke pemuka agama atau kiai agar didoakan. Kiai akan memberi wejangan singkat kepada nelayan. Meski tak selalu mendapatkan tangkapan melimpah, nyabis tetap dilakukan masyarakat pesisir Madura sebagai bagian dari bentuk usaha, selain usaha nyata, yakni berlayar.
Dari andun dan nyabis nelayan mampu mengubah cara berpikir dari berlayar sehari menjadi berlayar seminggu. Dengan perubahan itu, nelayan bisa mengurangi tekanan pada kawasan yang sudah terlalu banyak dieksploitasi ke kawasan laut yang kurang dimanfaatkan.
Kearifan lain adalah petik laut. Petik laut bisa digunakan untuk mengembangkan wisata yang berujung pada penambahan nilai ekonomi pada warga. “Sesaji bisa diganti dengan benih ikan atau bahan pembuat terumbu karang. Benih dan bahan terumbu karang buatan ini bisa ditebar dan ditanam di laut. Dengan demikian manfaatnya akan lebih terasa,” kata Mimit.
Rumpon atau onjhem juga merupakan bentuk kearifan lokal. Rumpon menjadi bagian dari upaya masyarakat tradisional menangkap ikan tanpa merusak lingkungan. Rumpon bisa dipadukan dengan teknologi yang bisa memancing ikan jenis tertentu lewat suara dan cahaya. Bentuk selektivitas inilah yang membuat teknologi ini lebih bisa menarik banyak ikan, namun tetap ramah lingkungan.
Nuddin Harahab penerima gelar guru besar Ilmu Ekonomi Sumberdaya Perikanan lainnya memberi paparan tentang nilai ekosistem mangrove dalam perencanaan wilayah pesisir.
Menurut Nuddin manfaat hutan mangrove bisa dibagi dalam tiga kategori yakni manfaat ekonomi langsung; sebagai penghasil kayu, sebagai tempat mencari udang, ikan, kepiting dan tiram; tempat bersarang burung; dan manfaat ekologi sebagai kawasan penyangga laju intrusi laut, tempat berlindung biota air, penahan gelombang, dan daerah pemijahan serta tempat mencari ikan berbagai macam biota perairan.
Dalam pidatonya nuddin memberi gambaran empat perencanaan wilayah pesisir, yakni digunakan sebagai tambak intensif, sebagian dipakai untuk tambak dan sebagian untuk hutan mangrove (silvofishery), semua wilayah digunakan sebagai produksi arang mangrove, dan semua wilayah digunakan hutan mangrove.
Hasilnya, jika seluruhnya dipakai tambak maka tambak hanya bertahan lima tahun, karena tak ada penyangga lingkungan. Karena itu mangrove harus dipertahankan sebagai bagian dari proses penyangga kehidupan.