Menunggu Kembalinya ”Rumah Ibu”
Rumah gadang adalah rumah ibu, simbol adat Minangkabau dengan garis keturunan ibu. Harta pusaka itu setara sawah, ladang, dan tanah yang terlarang dijual. Namun, keberadaan rumah gadang kini terancam.
Muchlis Sutan Mangkuto (65) perlahan menapak tangga kayu menuju loteng Rumah Gadang Siti Fatimah di Nagari Sumpur, Kecamatan Batipuh Selatan, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat. Di atas rumah tradisional Minangkabau itu, ia hati-hati melewati jembatan penopang kayu kecil untuk mencapai ujung selatan loteng.
- English Version: Awaiting Return of \'Mother\'s House\'
Di sana Muchlis duduk di kursi yang tersusun dari kayu berbentuk kubus. Pria yang tinggal berdua dengan adiknya di rumah gadang itu kemudian membuka sebuah jendela kecil. ”Lihatlah pemandangannya,” kata Muchlis.
Pemandangan dari celah jendela itu sungguh indah. Dari sana terlihat puluhan rumah gadang lain dengan bagonjong (bentuk runcing atap rumah gadang) yang mencuat di antara rerimbunan pepohonan di rumah warga. Sawah-sawah terhampar, sambung-menyambung laksana permadani membentang, hingga ke pinggir Danau Singkarak yang berair tenang.
Muchlis menuturkan, dirinya sempat tak percaya dapat kembali tinggal di rumah gadang dan menyaksikan pemandangan dari loteng itu. ”Rumah gadang ini masih baru. Bangunan lamanya habis terbakar saat kebakaran pada 26 Mei 2013,” katanya.
Kebakaran besar waktu itu juga menghanguskan empat rumah gadang lain di sebelahnya. Muchlis dan keluarga besarnya kebingungan. Mereka ingin membangun kembali rumah kebanggaan itu, tetapi terkendala biaya.
Beruntung, ada bantuan dari sebuah yayasan dan sejumlah organisasi lokal untuk merestorasi rumah gadang.
Problem rumah gadang di seluruh wilayah Sumbar sangat kompleks. Warisan nenek moyang Minangkabau sejak ratusan tahun silam itu berada di persimpangan jalan. Ratusan rumah gadang berusia tua telah rusak seiring waktu melewati hujan, panas, badai, juga gempa. Selain itu, musibah kebakaran ibarat kerusakan yang dipercepat.
Rumah gadang yang ditempati Suswita (64) di Nagari Pandai Sikek, Kecamatan Sepuluh Kota, Tanah Datar, adalah contoh konkretnya. Bangunan berukuran 10 meter x 25 meter yang sudah ditempati selama 10 generasi itu hanya setengah yang bisa digunakan. Sisanya rapuh dimakan usia.
Gempa bumi yang mengguncang Sumbar pada 2007, kata Suswita, telah mematahkan salah satu tiang utama. Bangunan itu kini miring karena kehilangan penyangga. Lebih dari setengah dinding luar yang terbuat dari kayu berukir indah itu hancur. Dinding itu ditutup seng.
”Memang bisa diperbaiki, tetapi biayanya bisa mencapai Rp 700 juta. Kami tidak sanggup. Keluarga di rantau yang juga memiliki rumah ini tidak peduli,” kata Suswita yang bekerja sebagai penenun songket.
Menurut Ketua Kampung Minang Nagari Sumpur Kamrita, biaya restorasi dua rumah yang terbakar, termasuk milik keluarga Muchlis, menelan biaya sekitar Rp 3 miliar.
Besarnya biaya perbaikan telah menyebabkan Nagari Sumpur, yang berada sekitar 99 kilometer utara Kota Padang itu, kehilangan banyak bangunan tradisionalnya. Menurut Kamrita, awalnya rumah gadang di Sumpur sekitar 200 unit, tetapi kini hanya tersisa 65 unit dan 40 unit yang ditempati.
Inisiatif warga
Di kawasan Saribu Rumah Gadang (SRG), Nagari Koto Baru, Kecamatan Sungai Pagu, Solok Selatan, sekitar 150 kilometer dari Padang, masih ada 134 rumah gadang. Di sana, masyarakat justru berinisiatif merevitalisasi rumahnya sendiri, semampu mereka.
Zulasri (66), misalnya, merevitalisasi rumahnya tiga tahun lalu dengan biaya Rp 50 juta. Itu pun belum semua kayu yang keropos diganti baru. Hanya dinding muka rumah yang diganti kayu jenis borneo dan meranti. Dinding dapur belum diganti karena dana sudah habis.
Bentuk asli rumah dipertahankan, tetapi atap ijuk diganti seng. Tidak ada lagi perajin ijuk yang membuat atap rumah gadang. Kalau ada, harganya berlipat-lipat. ”Seng lebih murah dan lebih mudah didapat,” ujar Zulasri.
Menurut Wowo Adizar, arsitek dari Institut Teknologi Bandung, masalah biaya tinggi pelestarian sebenarnya dapat diatasi selama ada keinginan atau semangat dari pemilik atau kaumnya. ”Saya amati, warga justru membangun rumah-rumah tembok di samping atau belakang rumah gadang mereka,” kata Wowo.
Pengajar di Jurusan Sastra Minangkabau Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas, Padang, Pramono, mengatakan, pada saat awal dibangun ratusan tahun silam, rumah gadang sudah berbiaya besar. ”Rumah gadang adalah kecakapan masyarakat lokal memanfaatkan lingkungan. Tidak sembarangan membangunnya karena di rumah itu banyak disematkan simbol-simbol adat bernilai tinggi,” katanya.
Namun, menurut Pramono, sekarang ini kendala bukan hanya soal biaya. ”Sumbar juga kekurangan ahli cagar budaya berkeahlian khusus rumah gadang,” katanya.
Pergeseran rumah gadang juga terjadi dalam fungsi sosial. Rumah-rumah gadang baru bermunculan, tetapi tidak lagi merepresentasikan kaum adat, tetapi milik pribadi-pribadi orang kaya atau perantau Minang yang sukses.
Di tengah tantangan zaman, harapan keberlanjutan rumah gadang tetap ada, tetapi dalam bentuk berbeda.
Yarnelly (68), salah satu ahli waris Rumah Gadang Suku Panai Tanjuang Simat Dato Rajo Batuah di SRG Solok Selatan, sejak tiga tahun lalu menjadikan sebagian ruangan rumah gadang keluarganya yang dibangun pada 1.800-an itu sebagai homestay.
Tiga kamar disewakan bagi turis yang berkunjung ke SRG yang kini sudah menjadi ikon wisata Solok Selatan. Kamar lainnya digunakan untuk dirinya dan cucu-cucunya.
Setiap hari ada saja wisatawan yang menginap, termasuk turis asing. ”Mereka senang menginap di sini karena suasananya berbeda,” kata Yarnelly. Selain dirinya, ada sekitar 20 keluarga yang menjadikan rumah gadangnya sebagai homestay. Hal serupa terjadi di Sumpur.
Kawasan SRG Solok Selatan kini diusulkan sebagai Situs Cagar Budaya Nasional. Jika itu terwujud, perhatian terhadap rumah gadang akan makin besar. Ke depannya, ”rumah- rumah ibu” akan senantiasa terjaga. (ITA/AIN)