PALANGKARAYA, KOMPAS — Petani karet dan sawit di Kalimantan Tengah belum sejahtera. Di tingkat petani, harga karet tak kunjung membaik, berkisar Rp 4.500 sampai Rp 5.500 per kilogram. Sementara harga tandan sawit hanya Rp 1.200 per kilogram. Akibatnya, pengeluaran tak sebanding dengan pendapatan para petani.
Holdi (45), Ketua Kelompok Tani Panunjung Tarung di Sei Gohong, Palangkaraya, Kalimantan Tengah, mengatakan, harga karet basah tak kunjung membaik selama setahun terakhir. Apalagi produksi karet miliknya berkurang karena cuaca yang tidak menentu.
”Otomatis pendapatan juga menurun karena produksi turun. Harga juga tidak jelas, kadang turun, kadang naik,” kata Holdi di Sei Gohong, Palangkaraya, Kamis (1/2).
Holdi memiliki kebun karet seluas empat hektar (ha) dengan rata-rata pohon berumur lima tahun lebih. Pada cuaca normal, kebunnya bisa menghasilkan 200 sampai 300 kilogram (kg) sekali panen. Sekarang hanya 100-an kg karena cuaca tak mendukung.
”Saat harga masih normal sekitar Rp 10.500 per kg, petani sejahtera sekali, bisa nabung buat kuliah anak. Kalau sekarang mau nabung susah. Uang hasil penjualan langsung ludes buat belanja bahan kebutuhan sehari-hari,” kata Holdi.
Murahnya harga karet basah membuat petani kadang kala merugi. Untuk merawat kebun dan memanen karet, Holdi harus keluar uang Rp 1,8 juta per hari, padahal hasil penjualan maksimal Rp 1,35 juta per hari. Agar tak rugi, Holdi terpaksa menahan barangnya saat harga rendah dan dilepas saat harga bagus. Namun, ada pula anggota kelompok taninya tetap menjualnya saat harga rendah karena mereka butuh uang segera.
Hal serupa terjadi pada komoditas kelapa sawit di perkebunan rakyat. Yulianti (32), petani asal Mahir-Mahar Kilometer 25, Palangkaraya, mengungkapkan, sejak dahulu harga tandan buah segar kelapa sawit hanya Rp 1.200 per kg. ”Makanya kalau sawit itu kami tanam sedikit saja karena tidak terlalu untung, banyak di pengeluaran,” kata ibu tiga anak tersebut.
Yulianti memiliki kebun seluas 1 ha yang setiap sisinya ditanami kelapa sawit. Namun, di bagian tengah sebagian besar ditanami karet dan sayuran.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), nilai tukar petani (NTP) pada subsektor tanaman perkebunan rakyat (TPR) terendah dibanding subsektor lainnya. Selama Januari 2018, nilai tukar hanya sebesar 94,12 persen atau menurun 1,37 poin dibanding bulan sebelumnya yang mencapai 95,49 persen.
Kepala BPS Kalimantan Tengah Hanif Yahya mengatakan, gambaran petani yang belum sejahtera terlihat pada data NTP pada subsektor TPR selama tiga tahun terakhir yang selalu berada di bawah 100 persen. Artinya, pendapatan petani lebih kecil daripada konsumsi rumah tangga dan biaya produksi yang dikeluarkan petani.
”Kondisi itu juga terlihat pada nilai tukar rumah tangga petani, yakni indeks harga yang diterima petani lebih kecil dari- pada indeks harga yang dibayarkan petani. Untuk Januari, nilainya menurun semua,” kata Hanif di sela-sela kegiatan jumpa media terkait berita resmi BPS Kalteng pada Februari 2018. (IDO)