Kota Papan Tanpa Asap
Jalanan itu melayang di atas rangka tiang besi dan kayu yang tertanam di dalam rawa-rawa. Besi menyangga jalanan aspal dan beton, sedangkan tiang kayu menahan jalanan yang terbuat dari papan. Jembatan menjadi penghubung utama di kota dengan radius kurang dari 4 kilometer tersebut.
Jalanan aspal dan beton dengan lebar sekitar 6 meter hanya di beberapa ruas, seperti Jalan Yos Sudarso dan Jalan Misi. Jalanan lain terbuat dari kayu yang menghubungkan lorong-lorong kecil dengan permukiman. Rumah penduduk berbentuk panggung juga terbuat dari papan sehingga membuat Agats dijuluki ”kota papan”.
Laju kendaraan yang menggunakan tenaga listrik itu tidak lebih dari 15 kilometer per jam. Sebetulnya, masih bisa melaju lebih kencang. Namun, cara itu bakal menguras energi yang dikumpulkan sekitar 8 jam selama mengisi daya dari aliran listrik PT Perusahaan Listrik Negara. Pelayanan listrik yang sering padam kadang membuat pengisian tidak maksimal.
Risiko lain yang paling dihindari adalah ancaman sanksi adat jika menabrak pejalan kaki, terutama warga asli setempat. Jangankan luka parah, benturan ringan saja bisa berbuntut panjang. ”Kalau tabrak orang, akan kena denda adat. Bisa bayar puluhan juta,” ujar Adi, pengemudi ojek asal Makassar, Sulawesi Selatan, pekan lalu.
Karena itu, tak heran bila kepolisian setempat belum pernah dipusingkan dengan urusan mengolah tempat kejadian perkara yang berhubungan dengan kasus kecelakaan lalu lintas. Kecelakaan akibat kendaraan di darat masih nihil, begitu data yang disampaikan Kepala Polres Asmat Ajun Komisaris Besar Abdul Aziz.
Ide motor listrik itu pertama kali diperkenalkan tahun 2006 oleh warga Asmat keturunan Makassar bernama Haja Erna Zahabuddin. Sebelumnya, hanya ada sepeda kayuh. Kehadiran barang baru itu awalnya ditentang sejumlah warga. Mereka khawatir jalanan papan akan rusak jika dilindas kendaraan yang lebih berat dari sepeda kayuh.
”Pernah ada yang melempari kendaraan saya dengan lumpur. Mereka bilang, 'kita jalan sama-sama saja. Kenapa kau naik kendaraan sendiri?,'” kata Erna mengenang. Kehadiran motor menarik perhatian Bupati Asmat kala itu, Yuvensius A Biakai, yang sehari-hari jalan kaki dari rumah dinas ke kantor bupati. Dia pun membeli satu unit.
Selanjutnya bupati mengimbau warga agar tidak menggunakan kendaraan berbahan bakar minyak. Itu demi menjaga ketenangan kota dan menjauhkan polusi udara. Pilihan itu juga sebagai solusi di tengah sulitnya mendapatkan bahan bakar dengan harga terjangkau. Khusus bensin, misalnya, harganya mencapai Rp 20.000 per liter.
Harga kendaraan listrik yang dipesan dari Surabaya itu kini sekitar Rp 14 juta per unit. Harga itu jauh lebih murah dan efisien dalam operasionalnya dibandingkan menggunakan kendaraan berbahan bakar minyak. Kini, diperkirakan sekitar 2.000 unit yang beroperasi di kota berpenduduk sekitar 26.000 jiwa itu. Di sana tak ada mobil.
Kepala Dinas Kesehatan Asmat Pieter Pajala mengatakan, belum ada penelitian untuk mengukur kualitas udara di Agats. Namun, ia yakini kondisi itu jauh lebih baik dari kota lain. Asap yang menyembul dari kota itu hanya dari dapur warga, kebakaran, atau asap mesin perahu motor. Sebagian polusi itu pun sudah diserap pepohonan yang menghijau di celah-celah permukiman.
Wajah kota
Kota Agats mulai tumbuh sejak didatangi misionaris Katolik dari Belanda untuk misi penyebaran agama. Tahun 1953, pos misi dibangun di Agats, lalu diikuti dengan pembangunan sejumlah fasilitas umum, seperti sekolah. Jauh sebelum itu, warga Asmat termasuk Agats sudah dikenal dunia luar melalui karya ukiran dan patung dari kayu.
Ukiran bertemakan kehidupan manusia bersama alam sekitarnya baik di darat, air, dan di udara. Dinding dan tiang rumah warga penuh dengan ukiran. Di tempat ibadah, seperti gereja juga melekat kental tradisi tersebut. Mereka memang terlahir dengan imajinasi seni. Karya itu bisa ditemukan di semua kampung.
Menengok kembali antara tahun 1960 hingga 1970, kegiatan mengukir sempat terhenti akibat intimidasi dari aparat negara. Pesta adat dituduh sebagai ajang perang antarkampung dan kanibalisme. Pihak Keuskupan Agats berupaya menghidupkan kembali, termasuk mencetuskan Llmba ukir pada 1981 dengan peserta 36 orang.
Tahun 2002, lomba ukir itu diganti nama menjadi Pesta Budaya Asmat dengan penyelenggaranya dari Keuskupan Agats bersama pemerintah daerah setempat. Semua dinamika itu tercatat di Museum Kebudayaan dan Kemajuan Asmat. Museum milik Keuskupan Agats di Jalan Misi, kota Agats, itu merekam Asmat. Ada ukiran, patung, hingga buaya sepanjang 5 meter yang diawetkan.
Wajah Agats berubah dalam 50 tahun terakhir. Masih dalam sejumlah rekaman foto di museum itu, kota Agats dulu berupa daratan kering. Penebangan mangrove di pesisir secara besar-besaran memberi celah bagi air laut untuk merangsek masuk. Saluran air yang semula parit berubah menjadi kali dengan lebar hingga 10 meter.
Sejumlah warga mengatakan, rob setiap tahun periode Desember-Februari itu mencapai hingga 500 meter. ”Dulu di sini tanah kering. Ada kebun. Sekarang sudah menjadi lumpur,” kata Emerickus Sarkol (67), penjaga museum itu menunjukkan beberapa foto.
Rob dan abrasi mengubah daratan kering menjadi rawa. Bangunan harus dibuat dalam bentuk panggung. Jalanan yang awalnya di atas tanah berubah menjadi jembatan. Sejak dimekarkan dari Kabupaten Merauke pada 2002, sejumlah fasilitas umum dan akses transportasi terus dibangun. Kota itu tumbuh di atas papan.
Namun, akses masuk Agats belum terlalu lancar. Agats dapat dijangkau dari Kabupaten Timika, Papua, menggunakan kapal motor selama 10 jam atau dengan pesawat kecil selama 45 menit. Tidak setiap hari ada pelayaran dan penerbangan. Akses dari Agats ke 224 kampung yang tersebar di 23 distrik (kecamatan) masih sulit.