Sampel Air dari ”Sumur Ajaib” Bojonegoro Masih Diuji di Laboratorium
Oleh
ADI SUCIPTO KISSWARA
·4 menit baca
BOJONEGORO, KOMPAS — Sampel air dari ”sumur ajaib” di Desa Jatiblimbing, Kecamatan Dander, Kabupaten Bojonegoro, telah diambil untuk diuji kandungannya oleh Dinas Lingkungan Hidup Bojonegoro pada Senin (22/1) pekan lalu. Sampel air tersebut masih diuji di laboratorium kesehatan di Mojokerto dan hasilnya diperkirakan baru akan diketahui tiga minggu sejak diperiksa.
Sumur yang berada di tengah sawah tersebut setiap hari didatangi ratusan warga dari sejumlah daerah di Jawa Timur, bahkan ada yang datang dari Jawa Tengah dan Yogyakarta. Mereka berharap mendapatkan kesembuhan.
Selain ada yang diguyur air dari sumur tersebut, ada juga pengunjung yang membawa air di dalam dua botol bekas minuman kemasan. Setiap pengunjung dibatasi membawa dua botol kemasan berukuran 1,5 liter. Mereka cukup memasukkan uang ke kotak amal seikhlasnya.
Pengunjung tidak diperkenankan merebus air yang dibawa pulang itu, tetapi pengelola sumur menyarankan agar air sumur itu langsung diminum. Kandungan airnya dipercaya warga sebagai obat untuk menyembuhkan berbagai penyakit.
Namun, dikhawatirkan kandungan air sumur itu justru membahayakan warga karena diperkirakan adanya residu bahan kimia dari pupuk dan pestisida. Untuk itu, pemerintah daerah setempat menguji kandungan air di dalam sumur itu di laboratorium.
Pengambilan sampel air dan pengujian di laboratorium untuk mengetahui apakah ada kandungan bakteri, juga residu bahan kimia berbahaya atau tidak.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Bojonegoro Nurul Azizah, Senin (29/1), mengatakan, sampai saat ini pihaknya menunggu hasil uji laboratorium. Ia menuturkan, uji laboratorium itu juga untuk mengetahui apakah air itu layak dikonsumsi atau tidak.
Pengelola mengatakan, air itu tidak boleh direbus karena dikhawatirkan mengurangi khasiatnya. ”Pengambilan sampel air dan pengujian di laboratorium untuk mengetahui apakah ada kandungan bakteri atau residu bahan kimia berbahaya atau tidak,” katanya.
Cerita soal air dari sumur ajaib ini bermula dari warga Dander, Sukiran (70), yang mengaku mendapatkan wasiat lewat mimpi untuk mencari sumber air. Sukiran dikenal warga Desa Dander sebagai paranormal. Menurut Sukiran, air sumur yang ditemukan itu adalah ”Air Suci Mustika Sari”.
Warga yang ingin mendapatkan kesembuhan cukup menyediakan wadah untuk tempat air yang dibawa pulang. Kalau sakitnya parah, pengunjung dimandikan dan diguyur dengan air yang ditimba langsung dari sumur.
Sejumlah pengunjung ada yang beberapa kali datang untuk mendapatkan kembali air dari sumur itu. Salah satunya Paidi (52), warga Sidodadi, Kecamatan Sukosewu, Bojonegoro. Ia setidaknya sudah empat kali datang.
Ia mengatakan awalnya harus dibopong akibat komplikasi diabetes dan kolesterol yang dialaminya. Setelah memanfaatkan air ajaib itu, ia merasa mendingan dan sudah bisa berjalan sendiri dengan bantuan tongkat kayu.
Ramainya pengunjung yang berdatangan dari sejumlah daerah mendatangkan berkah bagi warga sekitar. Ada yang membuka jasa parkir, ada yang berjualan makanan dan minuman di dekat sumur di tengah sawah. Bahkan, ada yang menjual botol bekas minuman kepada pengunjung yang tidak membawa wadah sendiri untuk menyimpan air yang dibawa pulang.
Fenomena orang mencari kesembuhan dari sumur ajaib di Bojonegoro itu mirip dengan fenomena batu petir Ponari di Jombang pada 2009. Banyak hal irasional dari para pengunjung yang ingin mendapatkan kesembuhan.
Dosen Institut Agama Islam Suna Giri Bojonegoro, Su’udin Aziz, menilai, ada hal yang perlu diluruskan terkait upaya warga mencari kesembuhan. Banyak masyarakat percaya bahwa air memiliki kekuatan untuk menyembuhkan, air saat wudu, air di tempat makam para wali, hingga air sungai sebenarnya juga bisa mengobati.
Hal itu akan diperparah jika yang datang sudah frustrasi atau putus asa karena ke mana-mana tak sembuh juga atau kesulitan biaya untuk berobat.
”Air tetaplah air. Semua bergantung pada kepercayaan dan sugesti tiap-tiap orang. Kalau masyarakat meyakini dengan air bisa sembuh, air dianggap bukan sebagai lantaran (sarana). Itu bisa salah sangka dan meracuni keyakinan (musyrik). Hakikatnya yang maha menyembuhkan, ya, Tuhan. Obat atau apa pun hanya sebagai sarana atau media penyembuhan,” tuturnya.
Asisten Direktur Ahlus Sunnah Waljamaah (Aswaja) Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama Bojonegoro itu menambahkan, praktik penyembuhan ala Ponari atau sumur ajaib itu bisa memicu ke arah syirik atau menyekutukan Tuhan. Tugas ulama memberikan pemahaman kepada masyarakat.
”Dalam Asmaul Husnah disebutkan bahwa Tuhan memberi sakit, Tuhan juga yang memberi kesembuhan,” ujarnya.
Menurut dia, dalam fenomena sumur ajaib di Bojonegoro, semua bergantung pada niat orang yang datang dan meminta air di tengah sawah di Dusun Ngembet itu. Su’uddin menyarankan pemerintah perlu mengevaluasi dan meningkatkan perhatian di bidang kesehatan. Masyarakat banyak yang datang untuk meminta kesembuhan dengan cara tak wajar. Femonema seperti itu berulang, termasuk batu petir Ponari di Jombang.
Bisa jadi mereka yang datang adalah orang-orang yang sudah berobat ke banyak dokter, klinik, rumah sakit, tabib, atau terapi lain dan menghabiskan banyak biaya, tetapi belum ada kesembuhan.
”Hal itu akan diperparah jika yang datang sudah frustrasi atau putus asa karena ke mana-mana tak sembuh juga atau kesulitan biaya untuk berobat,” ujar Su’udin.