SIDOARJO, KOMPAS - Keluarga pasien di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, mengeluhkan pelayanan medis yang mereka alami dari Rumah Sakit Siti Khotidjah. Mereka mensinyalir rumah sakit memberikan pelayanan buruk yang berujung pada meninggalnya seorang pasien.
Kendati peristiwa itu sudah berlangsung lebih dari sebulan, namun Faisal Rizal (44), Senin (29/1) di Sidoarjo, mengaku belum bisa menerima kematian ibundanya Supariyah (67).
Dia berpendapat, kematian Supariyah itu terjadi karena pelayanan medis yang buruk yang dilakukan oleh RS Siti Khotidjah, Sepanjang, Sidoarjo.
Faisal mengatakan Supariyah dibawa ke rumah sakit pada Rabu (20/12/2017) pagi sekitar pukul 04.30 karena mengeluh pusing dan mual-mual. Setelah ditangani di Unit Gawat Darurat (UGD), pasien diizinkan pulang dan menjalani rawat jalan.
Namun siang harinya, pasien kembali dibawa ke rumah sakit karena penyakitnya semakin parah. Setelah menjalani pemeriksaan medis, Supariyah disarankan agar dirawat inap. Pasien ditangani oleh dokter spesialis penyakit dalam dan dokter syaraf.
Hingga keesokan harinya, Kamis (21/12), hanya dokter spesialis penyakit dalam yang memeriksa pasien. Sedangkan dokter syaraf menurut keluarga pasien, tidak pernah memeriksa. Pasien mendapat obat dari perawat dalam bentuk injeksi atau suntikan.
Pemberian obat itu atas perintah dari dokter syaraf. Tiba-tiba, pukul 23.00 pasien Supariyah meninggal dunia.
“Keluarga pasien sangat kecewa dan menyayangkan penanganan yang lamban. Apalagi dokter syarafnya ini tidak pernah datang memeriksa selama pasien dirawat,” ujar Faisal.
Menanggapi keluhan keluarga salah satu pasien itu, pihak RS Siti Khotidjah melalui kuasa hukumnya Masbuhin mengatakan penanganan yang dilakukan terhadap pasien sudah sesuai dengan prosedur operasi standar.
Tim medis yang menangani telah menegakkan diagnosa secara tepat terhadap pasien, dan menanganinya sesuai standar pengobatan. “Berdasarkan hasil rekam medik, pasien menderita penyakit stroke dan meninggal karena serangan jantung,” kata Masbuhin.
Masbuhin menambahkan tidak benar dokter syaraf yang menangani pasien tidak melakukan pemeriksaan.
Menurut keterangan yang bersangkutan, dokter sudah memeriksa pasien dan memberikan perawatan terbaik. Tidak ada kelambanan penanganan medis seperti yang disampaikan oleh keluarga pasien.
Secara terpisah, Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Jatim Poernomo Boedi Setiawan mengatakan, pihaknya mempersilakan keluarga pasien jika merasa ada pelanggaran yang dilakukan dokter.
IDI Jatim tidak bisa memproses dugaan pelanggaran jika belum mendapatkan laporan dari pihak keluarga atau pun kepolisian.
“IDI bukan lembaga investigasi maupun penegak hukum. Jika keluarga pasien merasa ada pelanggaran yang dilakukan dokter segeralah melapor,” katanya.
Sampai saat ini, IDI Jatim belum mengetahui kejadian di RS tersebut. Jika keluarga pasien melapor ke polisi, biasanya IDI diminta untuk mendalami atau melihat seberapa jauh tindakan dokter tersebut untuk dikaitkan dengan etika profesi dan pelaksanaan prosedur agar bisa mengetahui pelanggaran hukum.
“Pelanggaran etika atau disiplin ilmu bukan berarti melakukan pelanggaran hukum, begitu pula sebaliknya. Etika profesi dan pelanggaran hukum wilayahnya berbeda, namun penyelidikan etika profesi bisa jadi pertimbangan bagi penegak hukum,” kata Poernomo.