SIDOARJO, KOMPAS — Philipus Djap, terdakwa penyuap mantan Wali Kota Batu Edy Rumpoko, dihukum dua tahun penjara dan denda Rp 50 juta. Dia terbukti memberikan mobil Toyota Alphard senilai Rp 1,6 miliar dan uang Rp 300 juta dengan imbalan mendapatkan proyek-proyek yang didanai APBD Kota Batu.
Hukuman dijatuhkan majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Surabaya yang diketuai Rochmad dalam sidang pembacaan putusan, Senin (22/1). Putusan majelis hakim ini sama dengan tuntutan yang disampaikan jaksa penuntut umum KPK dalam sidang yang digelar sepekan sebelumnya.
Majelis hakim mengatakan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan korupsi secara berkelanjutan. Dia melanggar Pasal 5 Ayat (1) huruf a UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah menjadi UU No 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, juncto Pasal 55 Ayat (1) KUHP juncto Pasal 64 KUHP.
Philipus Djap ditangkap dalam operasi tangkap tangan KPK di rumah dinas Wali Kota Batu, September 2017. Saat itu, dia sedang memberikan uang suap kepada Edy Rumpoko sebesar Rp 200 juta dan kepada Kepala Unit Layanan Pengadaan Edi Setiawan sebesar Rp 95 juta.
Dalam persidangan terungkap, Edy Rumpoko ingin membeli Toyota Alphard 2016 seri terbaru. Keinginan itu disampaikan kepada Philipus Djap, pemilik PT Dailbana Prima dan CV Amarta Wisesa. Sebagai imbalan, Edy berjanji memberikan sejumlah proyek yang didanai APBD Kota Batu ke perusahaan Philipus.
Tergiur dengan imbalan proyek itu, Philipus pun mengabulkan keinginan Edy dengan membelikan mobil seharga Rp 1,6 miliar yang dibayar dua kali, yakni Rp 1,3 miliar dan Rp 300 juta. Sebagai gantinya, PT Dailbana Prima mendapat proyek pengadaan belanja modal, mesin, dan mebel Pemkot Batu senilai Rp 5,26 miliar. Adapun CV Amarta Wisesa mendapat proyek pengadaan pakaian dinas aparatur sipil negara (ASN) senilai Rp 1,4 miliar.
Putusan majelis hakim didasari oleh sejumlah pertimbangan, di antaranya perbuatan terdakwa yang dilakukan berkelanjutan, yakni pada 2016 dan 2017. Di sisi lain, majelis hakim juga mempertimbangkan kondisi terdakwa yang belum pernah dihukum, bersikap kooperatif, serta menjadi saksi yang bekerja sama dengan penyidik KPK atau justice collaborator.
Menanggapi putusan majelis hakim itu, jaksa KPK Trimulyono Hendradi mengatakan belum bisa bersikap. Tim jaksa KPK memerlukan waktu untuk mempertimbangkan putusan hakim meski hukuman yang dijatuhkan sama dengan tuntutan yang disampaikan dalam sidang sebelumnya.
Hal serupa disampaikan kuasa hukum terdakwa, Luhut Simanjuntak. Dia mengatakan perlu berdiskusi dengan kliennya. Akan tetapi, menurut Luhut, dasar atau pertimbangan yang disampaikan majelis hakim dalam memutuskan perkara sudah sesuai dengan fakta-fakta yang terungkap di persidangan. ”Klien kami menghormati putusan pengadilan ini sebagai proses hukum. Apa yang disampaikan majelis hakim sesuai dengan fakta persidangan,” ujar Luhut seusai sidang. (NIK)