AGAM, KOMPAS — Kebakaran melanda kebun sawit milik warga di Jorong Durian Kapeh, Nagari Tiku Utara, Kecamatan Tanjung Mutiara, Kabupaten Agam, Sumatera Barat.
Kebun sawit itu berada di sekitar 96 kilometer di utara Kota Padang dengan luas lahan yang terbakar sekitar 6-7 hektar.
Lukman Syahputra dari Pusat Pengendalian dan Operasional (Pusdalops) Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Agam saat dihubungi dari Padang, Jumat (19/1), mengatakan, kebakaran lahan terjadi sejak Selasa (16/1) siang.
Satuan tugas BPBD Agam bersama Polisi Pamong Praja, Pemadam Kebakaran, Dinas Sosial, Balai Konservasi Sumber Daya Alam Resort Agam dan pihak terkait langsung turun sejak hari pertama untuk memadamkan api.
”Hingga Jumat ini, masih ada sekitar 20 persen area terbakar yang belum dapat dipadamkan,” kata Lukman.
Menurut Lukman, selain sulitnya memasukkan alat ke titik api, lahan yang terbakar berupa gambut.
”Setelah memadamkan api di satu titik, kami pindah ke titik lain. Namun rupanya di titik yang sebelumnya sudah dipadamkan, keluar asap lagi,” kata Lukman.
Terkait penyebab kebakaran, Lukman mengatakan, hingga saat ini masih dalam penyelidikan.
Dihubungi secara terpisah, Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Stasiun Meteorologi Minangkabau-Padang Pariaman Achadi Subarkah Raharjo mengatakan, berdasarkan pantauan menggunakan satelit Aqua, di Sumatera Barat (Sumbar) terdeteksi satu titik panas, yakni di Kecamatan Sungai Beremas, Kabupaten Pasaman Barat. Tingkat kepercayaannya mencapai 74 persen.
Sementara di daerah lain, termasuk di Agam, tidak terpantau. ”Untuk daerah yang tidak atau belum terdeteksi, bisa jadi saat satelit melintas, lahan terbakar tersebut tertutup awan,” kata Achadi.
Achadi menambahkan, sejak 10 Januari lalu, kelembaban udara di beberapa lapisan atmosfer di wilayah Sumbar kurang mendukung untuk pembentukan awan-awan konvektif yang menjulang seperti kumulonimbus.
Menurut Achadi, meski kelembaban udara itu meningkat, nilainya tidak signifikan. Akibatnya, awan-awan hujan pada skala yang luas masih sulit terjadi.
”Berkurangnya potensi hujan dalam skala luas beberapa hari ke depan di Sumbar memerlukan kewaspadaan kita. Terutama apabila masih ada pola pembukaan atau pembersihan lahan di masyarakat dengan cara membakar,” kata Achadi.