PALU, KOMPAS — Pemerintah Kabupaten Tojo Una-Una, Sulawesi Tengah, mengundang investor untuk menambah fasilitas penginapan di pulau-pulau destinasi wisata dalam kawasan Taman Nasional Kepulauan Togean. Namun, investor didorong untuk bermitra dengan warga setempat dalam menyediakan fasilitas itu.
Wakil Bupati Tojo Una-Una Admin Lasimpala mengatakan, saat ini, jumlah kamar penginapan di Kepulauan Togean 240 unit yang dimiliki 15 hotel, resor, dan cottage. Jumlah itu belum memadai untuk melayani kebutuhan wisatawan, terutama wisatawan mancanegara (wisman).
”Kami mengundang swasta untuk menambah sekitar 200 kamar lagi agar terjadi peningkatan jumlah wisman. Caranya tidak membangun resor, tetapi bermitra dengan warga lokal untuk menyediakan 1-2 kamar per rumah untuk wisatawan,” kata Admin di Palu, Sulteng, Kamis (18/1).
Admin menegaskan, pemerintah perlu membatasi jumlah resor agar membuka ruang bagi masyarakat untuk turut berpartisipasi dan menikmati dampak wisata. Caranya, warga menyediakan rumahnya sebagai rumah singgah(homestay) melalui kerja sama dengan investor. Investor mengucurkan modal agar warga bisa menyiapkan kamar yang memenuhi standar wisata, antara lain memiliki kamar kecil, tempat tidur, dan kipas angin.
Mengingat menggaet investor dengan model kerja sama seperti itu cukup sulit, Pemkab Tojo Una-Una memberikan fasilitas dengan mencari bank untuk kredit dengan bunga yang bisa dinegosiasikan.
Setiap tahun, wisman yang mengunjungi Kepulauan Togean sekitar 6.000 orang. Ada 12 pulau yang menjadi destinasi wisata di Kepulauan Togean, antara lain Pulau Kadidiri, Pulau Papan, Pulau Tiga, dan Pulau Salaka. Pulau-pulau itu terkenal dengan pemandangan bawah laut yang indah dan pantai berpasir putih.
Perjalanan ke tempat-tempat wisata memakan waktu 4 jam dengan kapal cepat dari Ampana, ibu kota Tojo Una-Una. Dari Palu, ibu kota Sulteng, akses menuju Ampana memakai pesawat yang rutin setiap hari atau melalui feri dari Parigi Moutong.
Pemerintah Provinsi Sulteng menetapkan Kepulauan Togean sebagai salah satu destinasi wisata unggulan sejak akhir 2016. Destinasi lainnya adalah Taman Nasional Lore Lindu di Kabupaten Sigi dan Poso.
Admin menuturkan, pada 2017, pemerintah berencana mengalokasikan anggaran Rp 2 miliar untuk membangun 200 kamar akomodasi di rumah warga. Setelah diteliti lagi, rencana itu dibatalkan karena belum ada regulasi yang mengatur penggunaan anggaran negara dengan model seperti itu.
Di pihak lain, warga kesulitan memenuhi penambahan kamar secara mandiri karena keterbatasan modal. ”Penyediaan satu kamar untuk wisatawan dengan standar layak itu membutuhkan sekitar Rp 10 juta. Angka ini tentu tidak mudah bagi warga,” ujar Admin.
Daya dukung
Secara terpisah, Sekretaris Himpunan Pramuwisata Indonesia Sulteng Saiful Hulungo meminta pemerintah jangan hanya berbicara target wisatawan tanpa menyediakan daya dukung mendasar, seperti kamar akomodasi. ”Dari dulu masalah akomodasi ini tidak terselesaikan. Padahal, pemerintah promosikan destinasi ke mana-mana. Ini bisa memberikan citra buruk,” katanya.
Saiful menuturkan, keterbatasan penginapan sangat terasa saat puncak wisata pada Juni-Agustus. ”Kami pastikan setiap tahun ada banyak tamu yang sudah tiba di pulau-pulau terpaksa kembali ke Ampana karena tidak ada kamar. Mereka lalu mencari destinasi lain,” katanya.
Kepala Desa Una-Una, Kecamatan Una-Una, Sukri Daeng Situju, saat dihubungi, mengatakan, pihaknya menyambut baik rencana pemerintah memberdayakan masyarakat dengan menyediakan rumah singgah untuk wisatawan. ”Asalkan kerja sama itu menguntungkan kami dan investor, kami pasti senang berpartisipasi,” ujarnya.
Ia mengaku warga sulit menyediakan rumah singgah secara mandiri karena kendala modal. Warga yang bermata pencarian nelayan cukup sulit mendapatkan uang Rp 10 juta. ”Selama ini, banyak pemandu wisata memberikan masukan untuk menyediakan rumah singgah. Tetapi, situasi kami sangat terbatas. Kami berharap pemerintah benar-benar mewujudkan rencana menggaet swasta untuk penyediaan rumah singgah,” katanya.
Terkait kemungkinan menggunakan dana desa, Sukri menuturkan, belum ada petunjuk teknis penggunaan dana desa untuk kemitraan seperti itu. Ia khawatir itu bisa membawa konsekuensi hukum. Selain itu, porsi dana desa saat ini lebih banyak untuk infrastruktur. (VDL)