Bank Sampah Perlu Diperbanyak
BANDUNG, KOMPAS — Upaya mengurangi kebiasaan sebagian warga membuang sampah ke Sungai Citarum dan anak sungainya membutuhkan peran serta semua kalangan. Tak sekadar imbauan, langkah itu harus didukung penyediaan tempat penampungan dan pengolahan sampah mandiri warga.
”Kini, sebagian masyarakat di bantaran Sungai Citarum dan anak sungainya sangat antusias dengan bank sampah. Namun, di sejumlah daerah masih terhambat minimnya jumlah bank sampah,” kata pendiri Bank Sampah Bersinar (BSB) di Kabupaten Bandung Fifie Rahardja pada bazar Belanja dengan Sampah, Kamis (18/1).
Acara itu digelar di lingkungan RW 005, Kelurahan Cipaganti, Kecamatan Coblong, Kota Bandung. Kawasan Cipaganti berada di area Daerah Aliran Sungai Cikapundung, salah satu anak Sungai Citarum.
Dalam acara itu, beragam sampah anorganik, seperti plastik, kertas, kaca, hingga ban sepeda motor, dibawa warga setempat. Sampah itu lantas ditukar dengan kupon pembelian sembako, pakaian, atau sandal-sepatu berharga murah.
Berdasarkan pengalamannya mendampingi masyarakat di Kabupaten Bandung, Fifie mengatakan, antusiasme warga memperlakukan sampah menunjukkan tren positif. Keberadaan bank sampah, membuat warga mengurangi kebiasaan membuang sampah anorganik langsung ke Sungai Citarum dan anak sungainya.
”Sejak 2014 hingga saat ini, nasabah BSB mencapai 7.000 orang. Total tabungan bank sampah mencapai Rp 200 juta per tahun. Harga sampah berkisar Rp 1.500-Rp 2.000 per kilogram. Dulu, sampah itu dibuang begitu saja ke sungai,” katanya.
Namun, Fifie mengakui di daerah lain, antusiasme warga itu belum terfasilitasi. Masih ada masyarakat yang bingung memperlakukan sampah sehingga rentan dibuang sembarangan atau membebani tempat pembuangan akhir.
”Kami sudah membuktikannya di Kabupaten Bandung dan ingin menularkan semangat yang sama pada warga di daerah bantaran sungai lainnya. Salah satunya di Cipaganti. Dalam tujuh bulan terakhir, ada 180 rumah tangga yang dibagi dalam enam kelompok, yang aktif. Tabungan sampah mencapai Rp 200.000 per bulan per kelompok,” katanya.
Saat ini, bank sampah sudah terbentuk di 96 desa di 8 kota/kabupaten di sekitar bantaran Citarum. Namun, itu belum seimbang dengan banyaknya sampah di sungai. Balai Besar Wilayah Sungai Citarum menyebutkan, sampah rumah tangga yang dibuang ke Citarum mencapai 20.462 ton per hari.
Ketua Umum BSB John Sumual mengatakan, untuk mengatasi keterbatasan itu, sudah ada kerja sama dengan swasta. Ia mencontohkannya kerja sama dengan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Jawa Barat, khususnya di industri tekstil. Perwujudannya, produk sisa yang gagal ekspor dan sampah karyawan pabrik tekstil disalurkan ke BSB.
”Untuk saat ini, kami hanya menerima sampah anorganik. Untuk sampah organik yang dibuat kompos sedang dicari pasarnya. Saat ini sedang dijajaki kerja sama antara Asosiasi Bank Sampah Indonesia dengan PT Pupuk Indonesia,” kata John.
Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Telkom, yang juga Ketua Gemricik Ratna L Nugroho berpendapat, kegiatan seperti bazar itu belum dapat mengurangi sampah secara signifikan. Namun, setidaknya dapat memotivasi, mengubah pola pikir, dan perilaku warga. ”Warga kini tahu sampah bisa bernilai ekonomi lewat bank sampah,” ujar Ratna.
Warga RW 005 Kelurahan Cipaganti, Bambang Priyatna (54), mengatakan, bank sampah memudahkan dirinya mengelola sampah anorganik. Sebelum ada BSB di sini, sampah dipungut petugas. Namun, banyak yang berceceran. (SEM/CHE)