Bandara Trunojoyo, Hasrat yang Tetap Menyala
Lapangan terbang Trunojoyo di Sumenep, Jawa Timur, diresmikan Menteri Perhubungan Emil Salim. Pembangunan lapangan terbang di Pulau Madura itu dimaksudkan untuk mengembangkan kepariwisataan di daerah tersebut. Upacara peresmian Lapangan Terbang Trunojoyo dihadiri Direktur Utama PN Pertamina Dr Ibnu Sutowo, Ketua Komisi V DPR RI Harsono, dan Gubernur Jawa Timur Moh Noor.
Berita pendek dengan judul ”Lapangan Udara Trunojoyo Diresmikan” tersebut dimuat harian Kompas yang terbit pada 12 Januari 1976, atau 42 tahun lalu.
Hasrat untuk menggapai Pulau Madura lewat udara sudah berlangsung setidaknya sejak tahun 1974 atau 44 tahun yang lalu. Peresmian Bandara Trunojoyo pada 1976 lebih dimaksudkan untuk mengembangkan potensi pariwisata di Pulau Madura, khususnya Kabupaten Sumenep dan sekitarnya.
Keberadaan Bandara Trunojoyo juga untuk memfasilitasi kebutuhan tak kurang dari lima perusahaan pengeboran minyak asing yang menanamkan modalnya untuk eksplorasi seismik dan eksploitasi minyak di wilayah Kabupaten Sumenep. Investasi yang ditanamkan satu perusahaan minyak itu sekitar 150 juta-500 juta dollar AS (Kompas, 15 Mei 1989).
Namun, dalam perjalanannya, pembangunan Bandara Trunojoyo tidak disertai dengan kesiapan bidang-bidang lain yang berkaitan dengan sektor pariwisata. Akibatnya, sampai bertahun-tahun kemudian Bandara Trunojoyo justru terbengkalai.
Untuk menghidupi dirinya sendiri saja Bandara Trunojoyo relatif tidak mampu, apalagi memberi manfaat bagi masyarakat di sekitarnya. Bahkan, sampai 15 tahun setelah diresmikan, atau pada 1991, Bandara Trunojoyo malah menjadi tempat ternak merumput (Kompas, 20 Oktober 1991).
”Kalaupun ada pesawat yang datang, paling dua kali sebulan. Itu pun kalau ada keperluan menjemput atau mengantar bupati untuk suatu kegiatan di wilayah Kabupaten Sumenep,” kata Rasyidi, petugas di Bandara Trunojoyo, seperti dikutip Kompas. Di bandara ini, pemandangan sehari-hari adalah penduduk yang lalu lalang melintasi landasan dan petani yang menebas rumput untuk pakan ternaknya.
Kompas, 8 April 2016 mencatat, sampai tahun 2015 Susi Air beroperasi di Bandara Trunojoyo, dan mulai tahun 2016 posisinya digantikan PT Airfast Indonesia. Itu pun dengan okupansi penumpang rute Surabaya-Sumenep baru sekitar 40 persen.
Meskipun Bandara Trunojoyo belum dimanfaatkan optimal, Pemerintah Provinsi Jawa Timur (Pemprov Jatim) justru siap membangun bandara perintis di Pulau Kangean dan Pulau Masalembu, Kabupaten Sumenep, Jawa Timur. Pulau Kangean terletak sekitar 130 kilometer sisi timur Pulau Madura, sedangkan Pulau Masalembu sekitar 150 kilometer utara Pulau Madura.
Sebenarnya di Masalembu sudah ada bandara lama milik PT Pertamina dengan landasan pacu sekitar 900 meter. Landasan ini bakal diperpanjang menjadi 1.600 meter. Adapun bandara perintis di Kangean dibangun di Desa Paseraman, dengan landasan pacu sepanjang 900 meter.
Kedua bandara perintis itu dibangun untuk mengatasi keterisolasian warga kedua pulau tersebut. Selama ini mobilitas warga dilayani kapal perintis yang melintasi kedua pulau itu sekali dalam sepekan. Namun, pada saat cuaca buruk, kapal laut tak bisa beroperasi sehingga mobilitas warga dan distribusi bahan pokok terganggu.
Berbenah
Bandara Trunojoyo yang diharapkan bisa menggairahkan Kabupaten Sumenep sebagai salah satu tujuan pariwisata ini sampai sekitar 40 tahun seakan tertidur. Bandara itu hanya melayani penerbangan perintis dua kali seminggu dengan rute Surabaya-Sumenep dan Jember-Sumenep.
Namun, kondisi itu tidak membuat Bandara Trunojoyo ”menyerah”. Tahun 2016 dilakukan sejumlah pembenahan untuk menarik penumpang dan maskapai penerbangan menyinggahi Bandara Trunojoyo. Landasan pacu Bandara Trunojoyo yang semula 1.130 meter diperpanjang menjadi 1.600 meter. Lebar landasan yang semula 23 meter juga diperbesar menjadi 30 meter (Kompas, 8 April 2016).
Alhasil, kalau semula Bandara Trunojoyo hanya bisa digunakan untuk pendaratan pesawat berkapasitas 15 orang, kemudian bisa menampung pesawat dengan kapasitas 72 penumpang. Tahun 2016 pesawat Airfast melayani rute Bawean, Karimunjawa, dan Semarang. Dari Sumenep penumpang transit di Surabaya lalu melanjutkan perjalanan ke Bawean atau Karimunjawa.
Setelah dibenahi, rute penerbangan komersial dari Bandara Trunojoyo bisa ke Surabaya, Bali, dan Lombok. Biaya pembenahan bandara tersebut sekitar Rp 33 miliar berasal dari APBN. Adapun untuk pembebasan lahan menjadi tanggung jawab Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sumenep.
Mengutip Bupati Sumenep Busyro Karim, Kompas mencatat, kali ini pembenahan tak hanya dilakukan di Bandara Trunojoyo, tetapi juga di beberapa tempat lain untuk memudahkan mobilitas orang. Busyro menyebut, di antaranya pembangunan dermaga di Pulau Gili Labak, Kecamatan Talango, dengan biaya Rp 500 juta. Hal serupa juga diprogramkan untuk Desa Kombang.
Sementara rute penerbangan perintis tetap beroperasi dua kali dalam seminggu, yakni rute Bandara Trunojoyo-Bandara Juanda Sidoarjo (Kompas, 14 Februari 2017). Maskapai Wings Air juga telah melakukan penerbangan percobaan untuk jalur penerbangan komersial Sumenep-Surabaya dengan pesawat ATR-72 seri 500 berkapasitas 72 penumpang (Kompas, 25 Juli 2017).
Pariwisata
Bandara Trunojoyo yang terletak di Desa Togurnusi dibangun mulai Oktober 1974 dan selesai Oktober 1975. Pembangunan bandara ini menelan biaya sekitar Rp 60 juta. Dana untuk itu diperoleh dari Inpres 1973/1974 dan sumbangan PN Pertamina (Kompas, 18 Januari 1975). Catatan Kompas, 25 Februari 1986, menyebutkan, biaya pembangunan bandara ini mencapai Rp 94 juta.
Awalnya, Bandara Trunojoyo termasuk lapangan terbang kelas D yang bisa digunakan pesawat jenis Cessna. Sejak awal pembangunannya, bandara ini dimaksudkan untuk menunjang pengembangan pariwisata Pulau Madura, khususnya Kabupaten Sumenep.
Kompas, 11 Desember 1975, menulis, untuk mengembangkan pariwisata di Pulau Madura yang luasnya 4.887 kilometer persegi (Kompas, 28 Agustus 2000) akan dibuka rute Denpasar, Bali-Togurnusi, Sumenep-Juanda, Surabaya. Ketika dibangun, panjang landasan Bandara Trunojoyo 850 meter dan lebar 23 meter.
Perhitungannya, pesawat Cessna mampu membawa 10 penumpang dengan lama penerbangan Denpasar-Sumenep sekitar 1 jam 5 menit. Adapun dari Sumenep ke Surabaya hanya sekitar 25 menit. Adanya rute baru ini diharapkan bisa menjaring wisatawan dari Surabaya ke Bali untuk ”mampir” di Sumenep. Demikian pula sebaliknya, wisatawan dari Bali bisa menghabiskan beberapa hari mengeksplorasi Kabupaten Sumenep.
Sayang, sampai sekitar tiga tahun sejak diresmikan Emil Salim pada 1976, keberadaan Bandara Trunojoyo belum dirasakan manfaatnya secara luas. Alih-alih melayani banyak penerbangan, Ikatan Motor Indonesia (IMI) Jatim malah menjajaki kemungkinan Bandara Trunojoyo untuk dijadikan arena lomba motor dan mobil (Kompas, 28 April 1979).
Memprihatinkan
Arsip Kompas mencatat, sampai tahun 1986 Bandara Trunojoyo (10 tahun setelah diresmikan) hampir tak pernah digunakan. Kondisinya memprihatinkan. Landasan bandara retak-retak dan ditumbuhi rumput liar. Pola konstruksinya sama dengan jalan raya sehingga apabila digunakan sekitar 10 kali berturut-turut landasan bisa hancur. Biaya perawatan sebesar Rp 1,5 juta per tahun tak mencukupi (Kompas, 25 Februari 1986).
Pada 1976-1977 bandara ini digunakan untuk memberangkatkan jemaah calon haji dari Sumenep ke Surabaya. Namun, hal ini tak berlangsung pada tahun berikutnya karena diprotes pengusaha angkutan jalan raya. Sementara niat awal guna mendukung pengembangan pariwisata Kabupaten Sumenep juga masih jalan di tempat.
Ini antara lain karena beberapa obyek wisata potensial yang ada belum digarap secara memadai. Padahal, di Sumenep dan sekitarnya terdapat antara lain keraton yang dibangun tahun 1763, museum, Masjid Jami’ Sumenep yang dibangun tahun 1779-1787, pemakaman bangsawan Asta Tinggi, Pantai Slopeng, dan Pantai Lombang yang berpasir putih dengan gradasi air birunya.
Bahkan, tahun 1988 Bandara Trunojoyo ditawarkan kepada siapa saja yang mau mengelolanya. Mengutip Kakanwil III Direktorat Perhubungan Udara di Surabaya Hari Soebagyo, Kompas, 28 Januari 1988, menulis, ”Siapa mau mengelola lapangan terbang (Trunojoyo) silakan hubungi Hari Soebagyo. Kami akan berterima kasih apabila ada yang bersedia”.
Tahun 1989 Bandara Trunojoyo malah digunakan petani tembakau untuk menjemur hasil panennya. Ini karena landasannya sudah tidak mulus, kantor dan ruang tunggunya pun rusak. Bandara ini memerlukan rehabilitasi total, tetapi tak ada dananya (Kompas, 15 Mei 1989). Bandara Trunojoyo juga pernah menjadi lokasi sekolah penerbangan, dan dipakai untuk latihan terbang sejak tahun 2010 (Kompas, 20 September 2014).
Untuk kepentingan pemerintahan dan perdagangan ke Surabaya, warga menggunakan jalan darat. Dari Sumenep ke pelabuhan penyeberangan Kamal yang berjarak 165 km bisa ditempuh dalam waktu tiga jam. Adapun penyeberangan Kamal-Surabaya hanya memerlukan waktu 15-25 menit (Kompas, 20 Oktober 1991).
Apalagi setelah Jembatan Suramadu beroperasi tahun 2009 (Kompas, 26 November 2016). Perjalanan dari Surabaya ke Pulau Madura bisa ditempuh tak hanya dengan bus atau kendaraan beroda empat, tetapi sepeda motor juga menjadi pilihan sebagian orang. Jembatan Suramadu telah menghilangkan ”sekat” antara Surabaya dan Madura.
Kontes
Sebagai tempat tujuan wisata, Sumenep memiliki banyak obyek menarik. Kegiatan budaya masyarakatnya pun unik, seperti Karapan Sapi (Kompas, 1 April 2003) dan Sapi Sono’ atau kontes kecantikan sapi betina yang juga kerap disebut sapi lotrengan (Kompas, 12 Agustus 2005).
Pada acara Sapi Sono’ yang biasanya diadakan menjelang musim tanam tembakau, sapi-sapi betina dari berbagai umur dihias dengan kain dan kayu ukir bentaos dari Karduluk (sentra ukir Sumenep). Sepasang demi sepasang sapi betina dengan iringan musik Saronen berjalan di pentas sepanjang 25 meter dalam 2 menit.
Juri kontes akan mengurangi nilainya apabila sapi itu berjalan di pentas lebih atau kurang dari dua menit. Sementara sapi yang berbalik arah atau mogok tak mau jalan dinyatakan gagal. Sorak sorai penonton menyemangati sapi-sapi betina berjalan di pentas membuat suasana Sapi Sono’ meriah.
Kompas, 25 Oktober 2009, menulis tentang Armuju, pemilik sapi sekaligus Ketua Paguyuban Sapi Sono’ Kecamatan Batu Putih, Sumenep, yang memberi perawatan ekstra agar ternaknya menjadi sapi unggul. Sapi diberi jamu berupa adonan tepung jagung, gula jawa, bawang, daun bawang, asam jawa, kelapa, dan telur. Sapi yang diikutsertakan dalam Sapi Sono’ juga diberi susu segar dicampur 25 butir kuning telur.
Ternak untuk Sapi Sono’ sejak berumur sekitar 3 bulan sudah dilatih berdiri dan berjalan tegak. Kandang sapinya pun dijaga agar tetap bersih. Hasilnya, sapi milik Armuju lima kali menjadi juara Sapi Sono’. Harga sapi sono’ berlipat-lipat dibandingkan sapi biasa. Sekadar contoh, sapi biasa berumur 4 bulan berharga Rp 4 juta, tetapi bibit sapi sono’ harganya bisa Rp 30 juta.
Tradisi Sapi Sono’, menurut budayawan Madura, Zawawi Imron, berasal dari kebutuhan masyarakat mencari bibit sapi unggul. Maka, di desa-desa berkembang kebiasaan, seperti arisan sapi, di mana setiap warga membawa sapinya. Kebiasaan ini kemudian berkembang menjadi Sapi Sono’. Selain itu, sapi juga menjadi hewan yang berjasa karena membantu warga bercocok tanam.
Kabupaten Sumenep tak hanya memiliki tradisi unik, tetapi juga bangunan-bangunan peninggalan Kerajaan Sumenep pada 1700-an yang masih bisa dinikmati hingga kini. Lewat bangunan peninggalan itu kita bisa memahami toleransi, keterbukaan, dan campuran dari berbagai budaya di Sumenep.
Obyek wisata di Kabupaten Sumenep tak kurang, Bandara Trunojoyo juga sudah dibenahi. Kini tinggal bagaimana Pemkab Sumenep dan pihak-pihak yang berkaitan dengan sektor pariwisata mengemasnya sebagai daerah tujuan wisata yang mampu menarik wisatawan domestik ataupun mancanegara.
Apalagi mengingat masih banyak daerah di Tanah Air yang belum tersentuh pembangunan infrastruktur garapan pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla. Dengan segala potensi pariwisata dan infrakstruktur yang sudah terbangun di Sumenep, tidak ada lagi alasan untuk menelantarkan Bandara Trunojoyo dan membiarkannya kembali ”mubazir”.