PADANG, KOMPAS — Dalam 25 tahun terakhir, Sumatera Barat kehilangan hutan seluas 578.372 hektar. Kondisi itu terjadi karena alih fungsi hutan, baik legal maupun ilegal. Karena itu, diperlukan pengendalian guna menghindari kerusakan yang lebih parah.
Koordinator Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi Sumatera Barat, Riche Rahma Dewita, di Padang, Kamis (4/1), mengatakan, alih fungsi hutan secara legal terjadi karena pemerintah mengeluarkan izin untuk hutan tanaman. ”Kehilangan hutan di Sumbar didominasi oleh izin hutan tanaman industri, terutama di daerah dengan topografi landai, seperti di Dharmasraya, sebagian Solok Selatan, Pasaman Barat, dan Mentawai,” kata Riche.
Salah satu izin yang tengah mencuat dan masih mendapat penolakan adalah izin hutan tanaman industri (HTI) di Siberut, Kabupaten Kepulauan Mentawai. Di sana akan ada izin HTI seluas 19.876 hektar.
Sementara alih fungsi secara ilegal terjadi akibat penebangan liar dan penambangan liar di dalam kawasan hutan. ”Pantauan kami penebangan liar dilakukan di nagari-nagari yang berdekatan langsung dengan kawasan hutan, seperti di Sijunjung. Pemodal penebangan liar berasal dari luar negeri,” kata Riche.
Adapun untuk penambangan liar, kata Riche, jika dilihat dari citra satelit Landsat TM yang dilakukan Unit Sistem Informasi Geografis Warsi, terdapat 2.950 ha kawasan yang rusak akibat tambang. Kerusakan tersebar di Kabupaten Dharmasraya seluas 1.340 ha dan Solok Selatan 1.610 ha. Dari analisis mereka, penambangan emas sebagian sudah masuk ke dalam Hutan Lindung Batanghari II.
Pantauan Kompas di Solok Selatan pada November lalu, penambangan emas skala kecil (PESK) masih marak. Meski ada moratorium, penambangan terus terjadi. Para petambang menyisir area hutan di tepi sungai hingga dalam hutan. Jalan-jalan baru tampak dibuka di area hutan.
Pengendalian
Menurut Riche, secara umum kehilangan hutan di Sumbar cenderung lambat dibandingkan provinsi lain, seperti Jambi sekitar 500.000 ha per tahun.
Dampak ekologis yang sudah terjadi dalam skala sedang adalah kekeringan sehingga sawah tidak bisa diolah. Dalam skala besar terjadi banjir bandang, seperti di Pakan Rabaa Tengah, Kecamatan Koto Parik Gadang Diateh, Solok Selatan, pada 14 September 2017. Saat banjir, banyak kayu besar yang menghantam rumah warga yang berasal dari kayu tebangan di Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS). Akibatnya, 137 rumah di empat jorong rusak. Saat itu, pemerintah daerah setempat menetapkan masa tanggap darurat selama tujuh hari.
Kepala Dinas Kehutanan Sumbar Hendri Octavia mengatakan, secara bertahap pemda terus merehabilitasi hutan dan lahan. Setiap tahun pihaknya menanam 2.500 ha di lahan kritis.
Lalu dilakukan pengamanan hutan, penegakan hukum, dan mendorong pengelolaan hutan berbasis masyarakat. ”Dari target 500.000 ha, sekarang sudah 180.000 ha perhutanan sosial di Sumbar,” ujarnya. Target 500.000 ha tersebut terus dikejar, termasuk peningkatan kapasitas warga. (ZAK)