Mereka Bertaruh Nyawa di Lautan
Ironisnya, pengakuan sebagai nelayan belum didapatkan perempuan-perempuan pemberani ini.
Hari masih gelap saat raung mesin perahu terdengar keras dari depan rumah Siti Darwati (34) dan Musakori (36) di Dukuh Tambak Polo, Desa Purworejo, Kecamatan Bonang, Demak, Jumat (22/12/2017). Sejenak, Darwati mencium kening anak bungsunya yang berusia 2 tahun. Semacam ritual kecil sebelum menjemput gulungan ombak dan tamparan angin kencang di laut lepas.
”Biasanya, kami berangkat mencari rajungan dan ikan mulai pukul 02.00, lalu kembali pukul 09.00,” ujar Darwati.
Rutinitas itu dilakoni setiap hari selama tiga tahun terakhir. Walau sadar risiko yang dihadapi, hal itu mesti dilakukan demi memenuhi kebutuhan ekonomi mereka dan ketiga anaknya.
Biasanya mereka melaut hingga Kaliwungu, Kabupaten Kendal, atau perairan Kabupaten Jepara. Akan tetapi, pagi itu, mereka berdua hanya bergerak di sekitar pesisir karena angin kencang dan gelombang tinggi hingga sekitar 2,5 meter.
Darwati dan Musakori bekerja sama karena butuh dua orang untuk menebar dan menarik jaring di tengah laut. ”Awalnya, suami saya pergi dengan temannya, penghasilannya dibagi. Namun, mencari orang semakin sulit karena kebanyakan pilih bekerja di kapal besar. Mau tidak mau, saya ikut melaut,” ujar Darwati.
Saat gelombang bersahabat, mereka berdua bisa mendapat lebih dari 7 kilogram rajungan senilai Rp 250.0000 per hari. Namun, saat cuaca buruk, paling banyak hanya mendapat Rp 50.000 per hari.
Bagi nelayan dengan perahu motor seperti mereka, musuh di lautan bukan hanya cuaca, tetapi juga kapal-kapal besar. Darwati berkisah, pernah berpapasan dengan kapal besar yang menimbulkan ombak setinggi 3 meter hingga mengombang-ambingkan perahunya. Dia menjerit ketakutan. Hal itu membuatnya trauma sehingga tak melaut selama dua hari.
Demi keluarga
Di Dukuh Tambak Polo, setidaknya ada 27 perempuan nelayan. Selain Darwati, ada Izmah Islamiwati (36). Perjuangan di laut tak meringankan kewajiban rumah tangga. Sebelum berangkat pukul 02.00, dia terlebih dulu menyiapkan pakaian sekolah dan sarapan untuk ketiga anaknya. Sekembalinya di rumah pukul 09.00, Izmah tak langsung istirahat, tetapi menjual rajungan hasil tangkapannya ke pengepul, serta mengantar anak ke madrasah.
Dia baru bisa beristirahat pukul 19.00 hingga bangun pada dini hari untuk kembali melaut. ”Awalnya suami menolak kalau saya ikut melaut. Namun, kalau bukan dengan saya, siapa lagi? Kami butuh memenuhi kebutuhan sehari-hari, dan yang terpenting untuk keperluan sekolah anak,” ujar Izmah.
Dia pun memiliki pengalaman tak terlupakan saat melaut. ”Ketika itu, kami melaju ke arah kapal besar yang tampak sedang berhenti. Saat semakin dekat, kami baru sadar, ternyata kapal itu jalan. Saya langsung putar kemudi. Jika terlambat, mungkin sudah tabrakan,” katanya.
Sering kali, Darwati, Izmah, dan sejumlah perempuan nelayan lain berangkat bersama. Tujuannya untuk menambah penerangan di laut demi keamanan. Itu juga untuk menghindari pertemuan dengan kapal lain, khususnya kapal dengan alat tangkap arad yang sering ”melahap” jaring mereka.
Kadang-kadang, para perempuan ini bahkan menjadi tulang punggung keluarganya. Sri Umroh (41), misalnya, beberapa tahun terakhir terpaksa mencari kepiting sendiri di sekitar pesisir setelah suaminya, Budi Suratno (54), sakit jantung dan tak bisa beraktivitas.
Umroh mesti menyiapkan semuanya sendiri. ”Bangun pukul tiga pagi menyiapkan kebutuhan sekolah ketiga anak saya. Sekitar pukul lima sampai sepuluh pagi menyusuri muara sungai mencari kepiting,” tuturnya.
Dalam sehari, Umroh bisa mendapat 6-7 kepiting kecil dengan pendapatan Rp 60.000-Rp 70.000 per hari. Pukul 15.00-18.00, dia kembali mendayung sampan mencari kepiting di laut. Semuanya dilakoni agar keluarganya tetap bertahan.
Mencari pengakuan
Para perempuan itu berharap mendapat haknya sebagai nelayan, dimulai dari kartu nelayan. Apalagi, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menjalankan program bantuan premi asuransi nelayan (BPAN) yang memberi santunan kecelakaan saat beraktivitas menangkap ikan sebesar Rp 200 juta (apabila meninggal), Rp 100 juta (cacat tetap), dan Rp 20 juta (biaya pengobatan).
Difasilitasi Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) dan Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia (PPNI), sejak setahun terakhir, 30 perempuan nelayan di Desa Purworejo, berjuang mendapat haknya.
Semua dimulai dari perubahan kolom pekerjaan pada kartu tanda penduduk (KTP). Dari ”Mengurus Rumah Tangga” menjadi ”Nelayan”. Itu menjadi syarat mengakses kartu nelayan.
Namun, pengakuan tersebut terkendala karena beda tafsir. Dalam surat keterangan yang dikeluarkan pemerintah desa, tertulis perubahan status mereka menjadi ”Buruh Nelayan/Perikanan”. Hal itu tidak bisa diterima para perempuan nelayan. Mereka merasa bukan buruh, tetapi nelayan, sama seperti suaminya. ”Saya bukan buruh dari suami saya. Kami sama-sama pemilik kapal,” ujar Izmah.
Sekretaris Jenderal PPNI Masnu’ah menyatakan, mereka berpegang pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan. ”Dalam Pasal 1 Ayat 3 disebutkan, nelayan adalah setiap orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan. Itu tanpa penyebutan laki-laki atau perempuan,” katanya.
Sekjen Kiara Susan Herawati menolak keras penyebutan buruh bagi perempuan nelayan. ”Buruh artinya ada kontrak, ada kewajiban juragan dan anak buah. Yang mereka lakukan dalam kerangka kerja sama memenuhi kebutuhan ekonomi bersama,” ujarnya.
Dalam dialog dengan sejumlah perwakilan perempuan nelayan, Kepala Desa Purworejo Syaifullah mengaku tak
bermaksud menghalangi pengakuan terhadap perempuan nelayan, tetapi itu terkait administrasi.
”Kami tetap mencoba memfasilitasi. Namun, asumsi kami seperti itu. Buruh pun bisa mendapat kartu nelayan,” ujarnya.
Hanya saja, menurut Masnu’ah, status nelayan sepenuhnya mesti diperjuangkan karena dikhawatirkan fasilitas yang didapat nelayan dan buruh nelayan tidak sama, termasuk perlindungan kecelakaan bagi mereka.
Peranan perempuan, termasuk dalam konteks masyarakat pesisir, menurut Susan, tidak bisa dikesampingkan. Sayangnya, selama ini, budaya patriarki masih mengakar dari hulu sampai hilir, dari lokal ke nasional.
”Pola pikir yang mesti diubah, dimulai dari memberi pengakuan kepada para perempuan nelayan,” kata Susan.