Nelayan Sumbar Protes Peraturan Menteri yang Batasi Alat Tangkap
Oleh
Ismail Zakaria
·3 menit baca
PADANG, KOMPAS — Puluhan nelayan bagan di Sumatera Barat kembali mendatangi Dinas Kelautan dan Perikanan Sumatera Barat meminta pemerintah merevisi atau perpanjangan masa diskresi Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 71 Tahun 2016 tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Penempatan Alat Penangkapan Ikan di Padang, Selasa (2/1). Diskresi mereka habis masa berlakunya pada 31 Desember 2017. Kedatangan ini merupakan yang kedua setelah aksi mereka pada 27 Desember lalu.
Puluhan nelayan itu tiba di kantor Dinas Kelautan dan Perikanan Sumatera Barat (DKP Sumbar) sekitar pukul 09.30 WIB. Mereka berasal dari Padang, Pasaman Barat, Agam, Padang Pariaman, Pesisir Selatan, dan Mentawai.
Sekitar pukul 10.00 mereka bertemu dengan Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Sumbar Yosmeri. Para nelayan meminta pemerintah, dalam hal ini Kementerian Kelautan dan Perikanan, merevisi sejumlah poin dalam Permen No 71 yang dinilai merugikan nelayan bagan.
Ketua Persatuan Nelayan Bagan Sumbar Hendra Halim mengatakan sejak 1 Januari kemarin, para nelayan bagan dilanda ketidakpastian. Ini terjadi karena surat edaran dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) sebelumnya menyatakan ketentuan Permen No 71 tidak berlaku bagi kapal bagan di Sumbar (diskresi) hingga 31 Desember 2017 kemarin.
”Kondisi itu membuat kami sejak 1 Januari tidak melaut karena khawatir menjadi sasaran penangkapan aparat pengawas,” kata Hendra. Hendra menambahkan, tidak menutup kemungkinan jika tuntutan mereka tidak kunjung diterima, akan ada demonstrasi yang lebih besar.
Menurut Hendra, ketentuan ukuran mata jaring 2,5 inci atau 64 milimeter, sesuai permen, membuat ikan makin sulit ditangkap. Selama ini nelayan menggunakan mata jaring berukuran 4,4 milimeter. Sementara untuk lampu, permen mengatur agar kapal menggunakan tidak lebih dari 16.000 watt. ”Dengan ukuran itu, sulit menarik ikan mendekat karena kami menggunakan lampu 25.000 sampai 30.000 watt,” kata Hendra.
”Selain ketentuan itu, pajak hasil perikanan bagi kapal bagan berukuran 30 gros ton ke atas yang diatur dalam permen itu sangat berdampak tidak hanya untuk pemilik kapal, anak buah kapal, tetapi juga masyarakat lain yang menerima manfaat dari adanya aktivitas kapal bagan,” kata Hendra.
Saat ini, tercatat ada 250 bagan berukuran di atas 30 GT di Sumbar dan lebih dari 20.000 orang menggantungkan hidup dari sana. “Kami berharap segera ada kepastian sehingga nelayan bisa melaut dengan aman dan nyaman,” kata Hendra.
Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia Sumbar Syaharman Zanhar menambahkan, sepanjang tidak ada izin dari pemerintah, nelayan tidak akan berani melaut. ”Tuntutan nelayan sudah jelas, jangan ditunda-tunda lagi. Kalau pemerintah tidak juga memperhatikan dan merespons aspirasi nelayan, mereka bisa memaksa tetap melaut dan melawan aparat. Apalagi ini tidak hanya menyangkut nelayan, tetapi juga keluarga dan usah-usaha lainnya,” kata Syaharman.
Menanggapi hal itu, Yosmeri mengatakan, pemerintah daerah sudah berkomunikasi, baik secara resmi maupun personal, dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan. Menurut Yosmeri, belum akan ada revisi Permen dalam waktu dekat ini. Hanya saja, pihak KKP menjanjikan akan ada surat perpanjangan diskresi.
Yosmeri menambahkan, nelayan tetap aman melaut meskipun surat perpanjangan diskresi belum keluar. Gubernur Sumbar sudah bertemu dengan aparat pengawas seperti Kepolisian Daerah Sumbar, Komando Resor Militer, Pangkalan Angkatan Laut, agar nelayan tidak ditangkap sampai surat keluar.
”Terkait hal ini, gubernur akan bertemu kembali untuk membicarakannya dengan pihak-pihak tersebut. Tujuannya, nelayan punya jaminan yang bisa dipedomani agar bisa tetap melaut,” kata Yosmeri.