MATARAM, KOMPAS — Provinsi Nusa Tenggara Barat berupaya meningkatkan produksi teripang pasir (Huluthuria scabra). Upaya peningkatan produksi teripang pasir ini diawali dengan proses budidaya melalui pembenihan dan pembesaran. Budidaya teripang pasir tersebut diharapkan bisa membantu masyarakat pesisir mendapatkan sumber penghasilan alternatif mengingat produksi dan budidaya teripang pasir bergantung dari hasil penangkapan di alam yang populasinya kian menyusut dalam satu dekade terakhir.
”Produksi teripang pasir saat ini masih dari hasil penangkapan dengan produksi tahun 2016 sebesar 547 ton. Sekarang kami bekerja sama dengan BBIL-LIPI (Balai Bio Industri Laut- Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) sedang melakukan uji kegiatan budidaya. Selanjutnya kami kembangkan untuk diterapkan kepada nelayan pembudidaya ikan pada areal budidaya teripang pasir seluas 3.600 hektar di NTB,” kataKepala Dinas Kelautan dan Perikanan NTB Lalu Hamdi, Senin (25/12), di Mataram, Lombok.
Menurut Hamdi, perairan NTB (Pulau Lombok dan Sumbawa) dengan padang lamun, terumbu karang, dan kawasan mangrove masih relatif baik bagi habitat teripang. Hanya saja cara penangkapan yang sembarangan, seperti menangkap habis dari anakan hingga induk teripang, membuat populasinya cenderung menurun. Penangkapan sembarangan ini dilakukan, antara lain, karena nilai komoditas sangat menjanjikan.
Menurut Kepala Seksi Diseminasi dan Kerja Sama BBIL-LIPI Lisa Fajar Indriana, penurunan produksi teripang di NTB terasa dalam 10 tahun terakhir. ”Tahun 2004, masih banyak ditemukan 10 jenis teripang di perairan Medana, Lombok Utara. Namun, setelah itu sangat sulit menemukannya, bahkan untuk mencari induk teripang di pengepul Kabupaten Sumbawa yang tidak selalu tersedia setiap saat,” tutur Lisa.
Untuk keperluan budidaya, diperlukan induk teripang pasir seberat 100-200 gram per ekor yang harganya Rp 50.000-Rp 60.000 per ekor. Untuk mendapatkan teripang dengan berat standar itu relatif susah. ”Kalau turun ke lapangan 10 kali, paling lima kali baru bisa mendapatkan indukan teripang pasir di sana (Kabupaten Sumbawa),” kata Lisa.
Hal senada dikatakan Tison Sahabudin, Ketua Yayasan Bungin Mandiri, Pulau Bungin, Kabupaten Sumbawa. ”Bungin salah satu sumber populasi teripang pasir. Cuma selama beberapa tahun terakhir populasinya menurun sampai 50 persen,” ujarnya.
Populasi sisa teripang pasir saat ini menjadi sumber penghasilan alternatif. Perburuan dilakukan malam hari saat teripang keluar dari sangkarnya mencari makan. Biasanya teripang ini hidup dalam pasir. Tempat yang ada komuni teripang bisa dilihat indikasinya. ”Jika 10 ekor yang tampak, berarti ada 100 ekor populasinya di tempat itu,” kata Tison.
Warga biasanya menjual teripang kering yang dalam beberapa bulan ini harganya Rp 1,2 juta per kilogram atau naik dari Rp 800.000 per kilogram pada tahun 2014. Sementara untuk teripang pasir basah harga pasaran di tingkap nelayan Rp 200.000-Rp 300.000 per kilogram. Satu kilogram biasanya 20-30 ekor teripang. Apabila nelayan fokus menangkap teripang atau tidak melaut, mereka bisa mendapatkan tangkapan 30 ekor sehari.
Saat ini, Tison bersama rekannya tengah melakukan budidaya teripang yang jumlahnya sekitar 8.000 ekor. Ia terkendala soal teknis budidaya yang belum dikuasai juga kesulitan mendapatkan pasar (pembeli).
Hulu-hilir
Untuk mengantisipasi menurunnya populasi teripang di alam dan memenuhi kebutuhan pasar yang terus meningkat, BBIL-LIPI tengah mengembangkan penelitian budidaya teripang pasir sejak tahun 2011. Menurut Lisa, penelitian budidaya teripang pasir tersebut dilakukan sampai sekarang.
Balai ini juga melakukan diseminasi hasil-hasil penelitian teripang melalui publikasi ilmiah, pelatihan, dan pendampingan kepada kelompok nelayan bekerja sama dengan Pemerintah Provinsi NTB dan perusahaan swasta untuk uji terap teknologinya di Lombok.
Dengan kapasitas laboratorium penelitian, balai ini juga melakukan pembenihan dan pembesaran yang menghasilkan 25.000 benih per tahun. Benih-benih itu antara lain dimanfaatkan untuk disimpan sebagai stok, ditebarkan di laut untuk menjaga populasi alami, dan dibesarkan di tambak sampai mencapai ukuran komersial sehingga bisa dipasarkan.