BANDUNG, KOMPAS - Hak suara para tenga kerja Indonesia asal Jawa Barat telah menimbulkan polemik menjelang pemilihan kepala daerah, seiring terjadinya perbedaan pendapat yang tajam antara Komisi Pemilihan Umum dan Badan Pengawas Pemilu Jawa Barat.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) akan menghapus hak suara tenaga kerja Indonesia (TKI), jika mereka tidak berada di Indonesia pada saat tahap-tahap penting pilkada serentak 2018. Badan Pengawas Pemilih (Bawaslu) malahan berpendapat sebaliknya.
KPU Jawa Barat (Jabar) menetapkan, semua pemilih wajib berada di wilayah domisilinya pada saat berlangsung tahapan pencocokan dan penelitian data penduduk potensial pemilih, tidak tercecuali para TKI.
Hak suara TKI asal Jawa Barat akan hangus bila masih berada di luar negeri saat tahapan pencocokan dan penelitian data penduduk potensial pemilih pemilu berlangsung. Badan Pengawas Pemilu Jawa Barat khawatir kebijakan ini rentan memicu kekurangan surat suara yang dibutuhkan.
Ketua Komisi Pemilihan Umum Jawa Barat Yayat Hidayat di Bandung, Kamis (21/12), mengatakan, verifikasi kepastian data jumlah TKI baru akan dilakukan petugas pemutakhiran data pemilih mulai 20 Januari 2018. Saat ini, menurut Yayat, petugas pemutakhiran data tengah diseleksi KPU.
“Jumlah petugas yang diperlukan mencapai 75.000 orang. Mereka akan mendatangi langsung ke rumah warga,” ujar Yayat.
Ketua Badan Pengawasan Pemilu Jabar Harminus Koto tidak setuju dengan kebijakan hak suara TKI itu. Dia mengatakan, situasi di luar negeri tidak dapat dipastikan.
Selain itu, tidak semua TKI bekerja di sektor informal. Banyak diantara mereka bekerja sebagai kaum professional, mereka baru pulang 1-2 tahun sekali ke Indonesia.
“Repotnya bila ada TKI yang berada di zona konflik, seperti sebagian timur tengah. Mereka bisa bakal sulit pulang,” ujar dia.
Masalah lain adalah ketersediaan surat suara cadangan yang hanya dicetak 2,5 persen. Bila nanti, banyak TKI yang sudah dicoret tapi tiba di hari pencoblosan, potensi kekurangan surat suara di KPU, sangat tinggi. Saat ini, jumlah total pemilih di Jabar mencapai 32,8 juta orang.
Harminus berharap hal ini mendapat perhatian penting dari KPU. Jangan sampai, kata Harminus, kasus warga yang tidak bisa memilih akibat kehabisan surat suara terulang kembali.
“Jika terjadi, maka harus dilakukan pemungutan suara ulang. Hal itu pernah terjadi di Pemilihan Gubernur DKI Jakarta beberapa waktu lalu,” katanya.