DEMAK, KOMPAS - Hampir seluruh nelayan kecil di Kabupaten Demak, Jawa Tengah, tak melaut sejak sepekan terakhir akibat angin kencang dan ombak tinggi. Sebagian memilih menjadi buruh bangunan dan sebagian lagi menganggur karena tak memiliki keahlian. Mereka terpaksa mengutang untuk memenuhi kebutuhan.
Muali (38), nelayan asal Dukuh Tambakpolo, Desa Purworejo, Kecamatan Bonang, Demak, Kamis (21/12), mengatakan, dalam sepekan terakhir, ketinggian ombak mencapai 3 meter. Tidak mau mengambil risiko, dia yang kerap mencari ikan bersama istrinya memilih tak melaut.
Untuk kebutuhan sehari-hari, dia beberapa kali menjadi buruh bangunan di Demak. "Jadi pekerja bangunan hanya beberapa hari, kemudian ikut membetulkan talud di Jalan Raya Bonang. Jika melaut, hasil dari menjual rajungan bisa dapat Rp 100.000-Rp 150.000, tetapi saat jadi buruh bangunan sekitar Rp 60.000-Rp 70.000. Tidak apa-apa, daripada tak ada pemasukan," tuturnya.
Musakori (36), Ketua Kelompok Nelayan Jaya Bahari di Tambakpolo, Demak, menuturkan, dari 125 anggota kelompoknya, lebih dari separuh tak melaut. Apalagi, sebagian dari mereka berangkat bersama istri sehingga terlalu berisiko.
Menurut dia, sebagian besar anggota kelompoknya sama sekali tidak bekerja selama musim angin barat. Terlebih, mereka tidak punya keahlian lain. Sebagian nelayan kadang tetap mencoba mencari ikan, tetapi hasilnya tidak optimal. Untuk mengisi waktu, mereka memperbaiki jaring atau perahu.
Lebih lanjut, Musakori menuturkan, di lingkungannya terbiasa untuk saling membantu. Dengan demikian, kebutuhan sehari-hari ditutup dengan meminjam uang kepada tetangga atau saudara. Selain itu, uang tabungan juga terpaksa digunakan. Namun, harus hemat karena cuaca baru diperkirakan membaik Februari 2018.
Pantauan Kompas di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Morokongsi, Morodemak, Kamis sore, tidak ada aktivitas bongkar muat kapal dan lelang. Hanya ada sejumlah warga dan petugas pengolahan yang mengeringkan ikan teri. Produksi teri pun menurun karena stok menipis.
Nelayan asal Desa Morodemak, Mintono (35), menuturkan, nyaris semua nelayan kecil di desanya tak berani melaut. "Ada sebagian, tetapi hanya di pesisir. Namun, sebagian besar menganggur," ujar Mintono, yang rata-rata mendapat Rp 200.000-Rp 300.000 dari penjualan udang tangkapannya.
Menurut Mintono, selain harus mengutang ke warung dan meminjam uang kepada saudara, pihaknya juga mencoba mencari penghasilan di tempat lain. Di antaranya mengepak sejumlah ikan yang akan dikirim ke daerah lain. Selain itu, dia juga kerap memancing, meski hasilnya tidak seberapa.
Kepala Desa Morodemak, Mujahidin, mengemukakan, total ada sekitar 3.000 nelayan di desanya. Di akhir tahun, umumnya aktivitas melaut nelayan terhenti karena ombak tinggi. Menurut dia, hanya sebagian kecil yang memiliki aktivitas pengganti. Mayoritas menganggur dan memanfaatkan uang simpanan.
Mujahidin mengaku tengah mendorong pengolahan ikan blida menjadi kerupuk bagi keluarga nelayan di Morodemak.
"Ini terus kami kembangkan, karena bahan sebenarnya selalu ada. Hal ini supaya para nelayan berdaya saat tak bisa melaut. Sebagian keluarga sudah mencobanya. Pemasarannya sudah sampai Nganjuk, Jawa Timur," kata dia.