NTT Mestinya Lebih Maju, Nyatanya Miskin dan Tertinggal
Oleh
Kornelis Kewa Ama
·3 menit baca
KUPANG, KOMPAS — Membangun Nusa Tenggara Timur tidak hanya menunggu pemerintah daerah, tetapi harus juga melibatkan semua komponen masyarakat.
Masyarakat Nusa Tenggara Timur (NTT) terdiri dari berbagai suku dan etnik yang mendiami pulau-pulau dengan karakter berbeda-beda. Pada usia ke-59, semestinya NTT jauh lebih maju dan berbudaya daripada saat ini.
Gubernur NTT Frans Lebu Raya ketika memimpin acara HUT Ke-59 NTT di Kupang, Rabu (20/12), mengatakan, peringatan HUT Ke-59 NTT ini merupakan yang terakhir diikutinya sebagai gubernur.
Di HUT ke-60 pada Desember 2018, ia sudah selesai memimpin NTT. Lebu Raya memimpin NTT selama 15 tahun, yakni lima tahun sebagai wakil gubernur (2003-2008) dan 10 tahun sebagai gubernur (2008-2018).
Saat ini, Lebu Raya meminta Universitas Brawijaya Malang untuk melakukan evaluasi terhadap semua program kerja gubernur dalam kurun waktu 10 tahun terakhir.
”Hasil evaluasi ini sebagai tolok ukur bagi pemimpin baru, yang akan memimpin daerah ini ke depan. Hal-hal positif akan ditingkatkan atau diteruskan, yang masih kurang dilengkapi, dan belum ada sama sekali akan diadakan,” tutur Lebu Raya.
Provinsi ini butuh kerja sama semua komponen masyarakat untuk terlibat dalam membangun di bidang masing-masing. Pembangunan tidak hanya oleh pemerintah, tetapi juga partisipasi masyarakat, LSM, dan terutama generasi muda sebagai penerus masa depan NTT.
Lebu Raya bangga atas prestasi yang ditorehkan anak-anak NTT, baik di tingkat nasional maupun internasional, seperti bidang olahraga dan musik. Prestasi ini juga bagian dari kesuksesan ”enam tekad pembangunan” yang diluncurkan gubernur 10 tahun silam.
Momentum HUT NTT menjadi refleksi atas kebersamaan selama ini sebagai orang NTT. Apakah hubungan kekerabatan antarsuku, agama, pulau, dan etnik di NTT sudah menyatu dalam satu tekad untuk maju atau masih terkotak-kotak pada ego sendiri. Semua komponen masyarakat NTT harus jujur mengakui itu dan butuh perbaikan pada masa yang akan datang.
Pada kesempatan itu, putra-putri NTT yang berprestasi di bidang olahraga dan seni musik di tingkat nasional diberi penghargaan berupa rumah tinggal, uang tunai, dan kendaraan roda dua.
Peringatan HUT NTT itu dimeriahkan dengan paduan suara gabungan dari siswa dan siswi se-Kota Kupang yang berjumlah sekitar 1.500 orang. Mereka membawakan lagu-lagu daerah khas NTT. Juga ditampilkan tarian-tarian daerah dari 22 kabupaten dan kota se-NTT.
Hadir pada peringatan HUT NTT itu pimpinan forum komunikasi daerah, para bupati se-NTT, kepala dinas, Konsulat Timor Leste di Kupang, perwakilan pemerintahan Darwin Australia, tokoh agama, dan tokoh masyarakat. Sebanyak 3.500 orang mengambil bagian dalam acara itu. Biaya yang dikeluarkan panitia sekitar Rp 1,5 miliar.
Provinsi miskin
Dosen Universitas Nusa Cendana Kupang, John Tuba Helan, mengatakan, meski sudah berusia 59 tahun, semestinya NTT jauh lebih maju dan berbudaya daripada saat ini. NTT masuk kategori provinsi miskin dan tertinggal nomor urut ketiga dari bawah.
Pemerintah daerah belum menyadari hal ini atau mengabaikan masalah dasar ini. Pemerintah daerah lebih suka bicara soal pesta dan acara, tetapi masalah inti, yakni pembangunan yang masih jauh tertinggal, tidak disinggung.
”Kita puas dengan kesuksesan beberapa atlet di tingkat nasional dan seni musik yang diperlihatkan beberapa generasi muda NTT. Tetapi, semua prestasi itu mereka peroleh melalui dukungan orangtua dan perjuang pribadi tanpa dukungan konkret dari pemda, kecuali olahraga. Setelah anak-anak itu meraih prestasi, pemda mengakui sebagai hasil karya mereka,” tutur Tuba Helan.