Gubernur Jawa Timur Digugat Warga soal Pencemaran Sungai Brantas
Oleh
Ambrosius Harto Manumoyoso
·3 menit baca
SURABAYA, KOMPAS — Tiga perempuan, Selasa (12/12), di Pengadilan Negeri Surabaya mendaftarkan gugatan warga negara atau citizen law suit terhadap Gubernur Jawa Timur Soekarwo.
Soekarwo dituduh melawan hukum berupa pembiaran dan kelalaian dalam pengelolaan sampah popok sekali pakai di Sungai Brantas. Dampaknya, kehidupan masyarakat pemukim Sungai Brantas dan kelestarian ekosistem terancam rusak.
Para penggugat ialah Mega Mayang Kencana, warga Pepelegi, Waru, Sidoarjo; Riska Darmawanti, konsultan lingkungan hidup dari Sukarpuro, Pakis, Malang; dan Daru Setyo Rini, dosen teknik lingkungan hidup dari Bambe, Driyorejo, Gresik. Mereka menunjuk Rulli Mustika Adya dan Abdul Fatah selaku kuasa hukum.
”Kami terpaksa mengajukan gugatan karena somasi dua bulan lalu tidak digubris olehnya (Gubernur Jatim),” ujar Mega, Kamis (14/12). Dalam materi gugatan dijelaskan ada sekitar 16,7 juta jiwa pemukim sempadan Brantas, sungai strategis nasional, di 11 kabupaten/kota.
Brantas memasok listrik dan air bersih bagi masyarakat. Soekarwo pun telah menetapkan Kali Surabaya sepanjang Mlirip-Legundi sebagai kawasan suaka ikan.
Namun, Soekarwo dianggap gagal mencegah rakyat tidak membuang sampah ke Brantas, terutama popok sekali pakai yang terbuat dari bahan kimia. Popok ini amat sulit terurai dan sifat kimiawi dalam air membuatnya mengeluarkan senyawa beracun dan berbahaya bagi organisme sungai dan pengonsumsinya, terutama manusia.
Penelitian oleh para penggugat menunjukkan, diperkirakan ada 610.000 bayi berusia 0-2 tahun yang setiap hari oleh orangtua dikenakan 3-4 popok sekali pakai.
Untuk pengolahan secara sederhana, warga tidak memusnahkan popok dengan dibakar karena terpengaruh ”kepercayaan” anak akan menerima suleten atau iritasi dan gatal-gatal.
Popok dibuang ke sungai yang secara terus-menerus akan membuat lapisan endapan tebal dan mengganggu sirkulasi oksigen untuk kesehatan ekosistem tersebut.
Senyawa yang dikeluarkan dari popok dan dikonsumsi ikan, udang, kepiting membuat organ hewan-hewan itu cenderung berubah menjadi betina meski sesungguhnya jantan.
Akibatnya, kekayaan hayati sungai menuju kepunahan, air sungai tercemar senyawa kimia dan tak layak dikonsumsi, dan rakyat menanggung dampak jangka panjang jika terpapar terus-menerus oleh air sungai tercemar.
Melanggar UU
Dari sejumlah fakta tadi, Soekarwo dituduh melanggar Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan LH dan UU No 18/2008 tentang Pengelolaan Sampah.
”Tergugat kami anggap tidak melakukan upaya apa pun dalam penanganan sampah,” ujar Rulli.
Penelitian dan pengangkutan popok bekas di 11 kabupaten/kota yang dilintasi Brantas oleh pegiat lingkungan hidup, kata Rulli, membuktikan Soekarwo telah lalai mengoordinasikan para bupati/wali kota untuk mencegah rakyat membuang sampah, terutama popok, ke sungai.
Selain itu, pencemaran oleh buangan pabrik dan domestik atau rumah tangga juga masih berlangsung.
Untuk itu, Soekarwo diminta mengakui kelalaiannya melalui media massa, memasang sedikitnya 2.000 kamera pengawas untuk pengawasan terhadap potensi pembuangan popok dan pencemaran Sungai Brantas, memeriksa secara terbuka dan independen seluruh satuan kerja perangkat daerah lingkungan hidup (LH) di provinsi dan kabupaten/kota.
Selain itu, memastikan kerja bakti bulanan mengeruk sungai dan mengangkat endapan terutama yang berupa popok dan sampah, memasang rambu larangan membuang sampah ke sungai, dan menghidupkan jaga kali atau patroli sungai.
Soekarwo belum bersedia berkomentar terkait dengan gugatan warga negara terhadap dirinya. ”Akan dilihat dahulu (gugatan) itu,” ujarnya.