Dokternya Wong Cilik Indramayu
Darnita (56) tersenyum saat keluar dari ruangan praktik dokter S Wijaya di Jalan DI Panjaitan, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, Selasa (21/11). Tanpa mengeluarkan uang sepeser pun, ia mendapatkan layanan kesehatan, termasuk obat. Panggilan hidup di jalan Tuhan ala dokter Wijaya menghadirkan senyuman itu.
Mengendarai sepeda butut, Darnita kembali ke tempat kerjanya sebagai tukang parkir. Di teras sebuah toko, tak jauh dari praktik dokter Wijaya, Darnita meminum dua macam obat dengan meneguk air putih dari sebuah botol air mineral bekas.
”Syukurlah, karena saya enggak ada uang, jadi enggak bayar. Obat juga gratis. Ini pertolongan,” ujar Darnita, bicara soal pelayanan dokter Wijaya.
Pengalaman pertama itu sejenak membuatnya lupa dengan penyakit di bagian pencernaan dan kakinya beberapa tahun terakhir. Layanan kesehatan tanpa tarif yang ia rasakan sangat membantu bagi perekonomian keluarganya.
Biasanya, ketika merasa sakit, bapak tujuh anak dan enam cucu ini meminta tenaga medis ke rumahnya di Desa Pekandangan Jaya, Indramayu. Biaya pengobatannya Rp 50.000 setiap tiga bulan.
Akan tetapi, karena tidak punya uang lagi, ia disarankan temannya berobat ke dokter Wijaya. Penghasilannya sebagai tukang parkir tidak seberapa, Rp 20.000-Rp 50.000 per hari. Dari pagi hingga siang hari itu, dia baru mendapatkan sekitar Rp 5.000. Itu belum cukup untuk membayar uang setoran parkir Rp 7.000 per hari.
Sebenarnya, ia bisa ke puskesmas untuk mendapatkan layanan kesehatan gratis. Namun, Darnita khawatir menunggu lama dan tidak mampu menebus resep obat. ”Saya juga tidak tahu apakah sudah terdaftar BPJS (Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial) Kesehatan atau belum,” ucapnya.
Viral
Nama dokter Wijaya (60) pernah viral setelah warganet mengunggah papan praktik dokter bertuliskan ”Kanggo wong cilik. Tanpa tarif. Bayar seikhlasnya saja. Tidak punya uang, tidak usah bayar”. Jika ingin membayar, pasien dapat memasukkan uang ke dalam sebuah kotak. Uang pecahan dari Rp 20.000 hingga Rp 100 ada di dalamnya.
Kekaguman warganet dituangkan dalam ribuan komentar di media sosial. Namun, tulisan di papan praktik itu dihapus setelah viral di media sosial beberapa waktu lalu.
”Enggak usah dipublikasikan. Saya enggak mau difoto. Nanti yang ditonjolkan manusianya. Padahal, ini semua kehendak Tuhan Yang Maha Kuasa,” ucap Wijaya kepada Kompas.
Beberapa kali dia menolak permintaan wawancara dari media. Ia juga tak berkenan menceritakan soal dirinya lebih dalam.
Bagi Wijaya, apa yang dilakukannya sekadar membantu mereka yang membutuhkan pertolongan dokter. ”Lagi pula, orang lain juga bisa melakukan seperti yang saya lakukan,” ujarnya.
Sebaliknya, Wijaya diam-diam melayani kesehatan kalangan keluarga tidak mampu secara ekonomi. Sejak pensiun beberapa tahun lalu, warga Desa Jatibarang ini mulai membuka praktik pada 7 April 2014. Tempatnya di dekat lampu lalu lintas Jalan Mayor Dasuki, Indramayu.
Karena jumlah pasien membeludak, praktiknya pun pindah ke Jalan DI Panjaitan. Di sana, ia melayani pasien setiap hari kecuali Minggu dari pukul 09.00-13.00. Tidak jarang ia harus mengobati puluhan pasien hingga melampaui jadwal praktik, bahkan pada tanggal merah.
Pelayanan itu juga mengundang warga di luar Indramayu, seperti Cirebon, Karawang dan daerah Jawa Tengah, ke tempat praktik lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, ini. Karena pembayarannya tak dipatok, bahkan kerap gratis, Wijaya harus membayar tagihan obat hingga jutaan rupiah. ”Dua bulan terakhir hampir Rp 8 juta,” ucap bapak empat anak ini tersenyum.
Akan tetapi, perbuatan baik tetap mendapat jalannya. Biaya sewa tempat praktiknya, misalnya, mendapat bantuan teman-temannya yang tak perlu disebutkan namanya. Di ruangan tunggu terdapat pula kardus berisi pakaian bekas layak pakai yang berasal dari Wijaya, teman-temannya, dan pasiennya.
Pakaian itu dapat diambil cuma-cuma oleh pasien. Mainan dan buku pelajaran sumbangan tetangga dan pasien juga disuguhkan kepada anak-anak tanpa bayaran. Jika kehausan, pasien dapat meminum air gratis di salah satu sudut ruangan.
Dua tabungan
Ruangan tunggu menjadi tahap awal ”memancing” kegembiraan pasien. Ketika masuk ke ruang dokter, Wijaya kerap bercanda bersama pasien. Bahkan, tak sedikit pasien curhat. ”Ada yang cerita kalau butuh uang untuk beli pakaian sekolah,” ucap Wijaya yang tidak ragu membantu pasiennya jika kesulitan ekonomi.
Menurut Wijaya, setiap orang sebaiknya punya dua tabungan, yakni saat hidup dan akhirat. Tabungan hidup, misalnya digunakan untuk kebutuhan hidup, sementara tabungan akhirat didapatkan dengan menolong sesama.
Bagi pasien kurang mampu, pelayanan kesehatan di praktik Wijaya jadi peringan beban hidup. Sebab, tidak ada tarif yang diberlakukan. Belum lagi layanan kesehatan yang belum merata. ”Saya, sih, punya BPJS Kesehatan.
Namun, kalau ke puskesmas takut antreannya panjang. Kalau ke dokter lain, ada yang belum terima BPJS,” ujar Abdurrohim (54), warga Indramayu.
Tukang servis sadel motor itu mengaku pusing karena harus menyisihkan lebih dari Rp 200.000 untuk membayar iuran BPJS Kesehatan untuk dia, istri, dan lima anaknya. Abdurrohim berharap Wijaya tetap memberikan layanan kesehatan yang tidak memberatkan pasien.
Keinginan Abdurrohim beralasan. Berdasarkan data Kabupaten Indramayu Dalam Angka 2017, jumlah dokter umum di daerah berpenduduk 1,7 juta itu hanya 40 orang. Tidak heran apabila banyak pasien yang ingin dokter Wijaya tetap sehat dan berkarya.
Soal itu, Wijaya dengan tegas mengatakan, ”Saya akan berhenti melayani karena dua hal, uang habis atau meninggal dunia.”
(ABDULLAH FIKRI ASHRI)