Pie susu tengah booming jadi oleh-oleh khas Bali saat ini. Begitu pula pia. Ketika pada bungkus terpajang penari Pendet, Legong, Barong, sampai Jepun langsung sah sebagai oleh-oleh khas Bali. Penganan asli Bali seolah tenggelam. Meski demikian, sebagaimana produk lain, kemasan, inovasi rasa, dan kreativitas tentu saja tetap menjadi hal utama.
Kue lingkaran pipih berdiameter tujuh sentimeter dengan warna kecoklatan dilengkapi rasa manis susu di tengahnya. Itulah pie susu. ”Tunggu 10 menit lagi, ya, Bu. Pie baru saja matang. Sabar, ya, Bu,” kata Lia, salah satu pegawai di toko sekaligus tempat pembuatan pie susu Asli Enaaak, di Jalan Nangka, Kota Denpasar, Jumat (16/9).
Tak hanya satu pembeli, yang diminta Lia untuk menunggu, tetapi juga enam ibu dan tiga bapak dalam waktu kurang dari 30 menit di siang itu. Dan, mereka rela menunggu demi oleh-oleh pie susu pulang ke Jakarta atau ke kota lain di luar Bali. Antrean ini terlihat hampir setiap hari, apalagi saat musim liburan tiba.
Sepuluh menit kemudian, tiga pegawai lain membawa sejumlah kotak berisi 20 bungkus pie seharga Rp 50.000 dan diletakkan di meja panjang. Tak berapa lama, kotak-kotak itu pun habis oleh ibu dan bapak tadi.
Kotak-kotak datang lagi menyusul beberapa menit kemudian. Dan, lagi-lagi segera habis. Produksi per hari pun mampu mencapai 30.000 biji atau lebih banyak lagi jika pesanan sungguh ramai.
Antrean ini tak dijumpai di tempat lain karena pie susu Asli Enaaak tak menitipkan kuenya ke tempat lain. Produk pie susu itu dipelopori Tan Kien Toe atau Tantri, tante Lia sendiri, sejak 1989. Dulu justru sempat beredar di pasar tradisional atau warung-warung penganan. Harganya waktu itu Rp 2.000 dan laris manis.
”Sekarang, tante saya ini masih heran kok kue buatannya bisa laris manis, bahkan menjadi pilihan alternatif oleh-oleh khas Bali oleh wisatawan lokal. Toko yang sekaligus tempat produksi ini tak pernah sepi,” kata Lia yang membantu tantenya sejak lima tahun ini.
Sejak 2007, sejumlah pengusaha pie bermunculan, di antaranya Meriany Tanuari (28) dengan merek Spesial, dan Komang Sukadasna (40) merek Dhian. Kesemuanya hampir memiliki rasa dan bentuk yang sama. Jika tanpa kemasan masing-masing, orang bisa saja sulit membedakannya. Aneka rasa pun berkembang dari rasa original (susu) sampai beragam rasa buah-buahan.
Meski bermunculan belasan merek berbeda, pie susu laris manis hampir merata. Pie susu Spesial dan Dhian, contohnya, dalam waktu tiga tahun memiliki lebih dari tiga lokasi produksi. Tenaga kerja pun terus bertambah. Dua produsen pie ini menambah pegawai dari 10 orang menjadi sekitar 40 orang. Puluhan ribu keping pie susu beragam merek beredar setiap harinya dan menghidupi banyak orang lokal.
Karyawan Tantri, Meri, dan Sukadasna, misalnya, hanya lulusan SD dan kebanyakan datang dari Kabupaten Buleleng, sekitar 100 kilometer dari Denpasar. Mereka mendapatkan pelatihan, mulai mengenal adonan sampai kue matang dan membungkusnya.
”Ya, seminggu belajar bisa, kok. Banyak teman saling membantu,” kata Rini, pegawai lain, sambil tangannya lincah merapikan bungkusan pie susu Spesial ke kotaknya.
Gaji bulanan yang diterima pun beragam, mulai Rp 1,5 juta per orang disesuaikan keahliannya. Pemilik pun memberikan fasilitas semacam kos atau rumah tinggal bersama untuk karyawan, termasuk mendapatkan makan hingga segelas kopi di luar gaji mereka.
Mengapa pie susu ini cepat jadi tren? Pengamat yang sekaligus Dekan Fakultas Pariwisata Universitas Udayana I Made Sendra menunjuk kepada menariknya kemasan atau kotak yang membungkus kue modern ini. Kemasan pie susu biasanya mengandalkan simbol-simbol ke-Bali-annya. Misalnya, Barong, Jepun, Penjor, warna merah-kuning-poleng (hitam putih). Ketika orang melihatnya, lanjut Sendra, mereka langsung terbayang ini produk asal Bali meski tak tersentuh wisatawan asing karena dianggap terlalu manis, kurang pedas, atau berbumbu.
Wisatawan itu, lanjut Sendra, ketika datang berlibur memiliki empat keinginan dasar, yaitu sesuatu untuk dilakukan (berselancar, berenang), sesuatu untuk dibeli (oleh-oleh), sesuatu untuk dipelajari (sejarah pura), dan sesuatu untuk dilihat (budaya, tari-tarian). ”Nah, pie susu ini dari kemasan saja menarik perhatian karena langsung mampu mengingatkan soal Bali meski hanya turis domestik yang senang mengonsumsinya. Jadi, paslah, sebagai buah tangan sepulang berlibur di Bali,” ujarnya.
Kemasan yang menarik, inovasi rasa, dukungan pemerintah setempat, menurut Sendra, tetap menjadi kuncinya. Penganan tradisional pun seolah tenggelam meski tetap ada di rak-rak toko oleh-oleh. Lihat saja, salak bali, kripik, dan kacang yang pernah jadi primadona di masa lalu. Padahal, jika penganan tradisional makin tidak dilirik, hal itu dapat mengakibatkan punahnya makanan asli dengan kandungan lokal Bali.
Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Denpasar Wayan Gatra pun tak setuju jika pie susu meredupkan penganan tradisional. Baginya, masing-masing penganan memiliki pangsa pasar berbeda. Makanan tradisional biasanya justru dinikmati di tempat, seperti ayam betutu. Namun, ia tetap berencana menyurvei perkembangan pie susu yang makin terkenal dan berkembang justru di Kota Denpasar.
Sepertinya, ini menjadi pekerjaan rumah pemerintah setempat untuk mampu membuktikan penganan tradisional tak tenggelam. Jika memang tenggelam, usaha pengangan tradisional itu harus dibantu pemerintah untuk bangkit kembali. Sebab, ada banyak keindahan dari kuliner dan penganan lain dari Bali, tidak sekadar dari indahnya kemasan sekotak oleh-oleh.