Galungan di Bali Momentum Jaga Solidaritas dan Perlu Introspeksi
Oleh
·2 menit baca
DENPASAR, KOMPAS — Hari Rabu (1/11) ini, umat Hindu Bali merayakan Galungan. Ribuan penjor, salah satu simbol perayaan, berdiri hampir di seluruh depan pintu rumah umat di Pulau Bali. Ini merupakan perayaan rasa syukur kemenangan umat, dharma (kebaikan) melawan adharma (kejahatan).
Perayaan Galungan kali ini bersamaan dengan aktifnya Gunung Agung, Kabupaten Karangasem, yang statusnya baru turun dari Awas ke Siaga, yang memaksa ratusan ribu orang mengungsi. Karena itu, Pemerintah Provinsi Bali bersama Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Bali meminta Galungan ini menjadi momentum menjaga serta memperkuat solidaritas seluruh umat dan masyarakat hingga perlu introspeksi khususnya dalam memperlakukan alam.
Gubernur Bali Made Mangku Pastika mengimbau agar umat Hindu Bali pada perayaan Galungan kali ini tidak hanya sebatas perayaan kemenangan dharma terhadap adharma. Ia menekankan agar umat tidak berfoya-foya merayakannya karena warga di Kabupaten Karangasem tengah susah di pengungsian.
”Bersamaan dengan aktifnya Gunung Agung ini menjadi perhatian dan sebaiknya seluruh umat, termasuk saya, berintrospeksi. Mungkin ada hal dari kita semua yang salah memperlakukan alam sehingga peristiwa perubahan status gunung adalah bagian dari memperingatkan kita semua,” kata Pastika.
Ia menambahkan kemungkinan adanya kelalaian umat merawat dan menjaga alam terutama sekitar gunung. Bisa saja, menurut Pastika, upacara-upacara agama yang digelar masih berada di tataran fisik dan belum diterjemahkan dengan maksimal dalam perilaku keseharian semua umat di Bali.
”Mungkin saatnya pula meninjau kembali apakah pendakian di Gunung Agung itu layak untuk pendakian pariwisata atau hanya untuk keperluan upacara umat Hindu Bali saja seperti dahulu,” kata Pastika.
Namun, menurut dia, solidaritas dan toleransi di Pulau Bali masih terjaga. Ini terbukti saat ratusan ribu warga Karangasem mengungsi selama sebulan, warga di luar Karangasem membantu.
Hal senada dikatakan Ketua PHDI Bali I Gusti Ngurah Sudiana. Ia melihat perlunya meninjau hal-hal terkait kepentingan upacara umat dengan pariwisata, seperti halnya kelayakan berpakaian para wisatawan hingga perlunya tempat ibadah dijadikan seperti obyek wisata.
Wayan Durga (79), warga Desa Bebandem, yang masih mengungsi di Denpasar, percaya Gunung Agung tengah memberi peringatan. Erupsi pada tahun 1963, kata Durga, terjadi sehari menjelang hari raya Galungan. ”Kali ini juga mirip, hanya saja belum erupsi. Karena itu, hari raya kali ini Durga bersama keluarga hanya merayakan secara sederhana dengan bersembahyang di pengungsian. (AYS)