logo Kompas.id
NusantaraPetani Tetap Merasa Resah
Iklan

Petani Tetap Merasa Resah

Oleh
· 4 menit baca

JAKARTA, KOMPAS — Pasca-penegasan Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita, membebaskan penjualan gula tak otomatis menyelesaikan masalah. Petani tebu justru merasa waswas produknya tak terserap pedagang karena secara aturan, gula dalam bentuk curah hanya boleh dijual Perum Bulog. M Nur Khabsyin, Sekretaris Jenderal Andalan Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI), Kamis (26/10), mengatakan, aturan bahwa hanya Bulog yang dapat menjual gula dalam bentuk curah ke pasar tradisional dinilai merugikan petani tebu. Ketentuan itu membuat pedagang takut atau enggan membeli gula petani. Apalagi pengawasannya melibatkan Satuan Tugas Pangan."Menteri Perdagangan memang memperbolehkan petani menjual gulanya kepada pedagang, tetapi faktanya pedagang takut membeli karena khawatir dianggap melanggar aturan, selain tidak bisa menjual curah ke pasar," katanya, Kamis (26/10).Khabsyin menambahkan, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian dalam surat bernomor S-202/M.EKON/08/2017 tertanggal 18 Agustus 2017, poin 4, menyebutkan, atas kewajiban Bulog menyerap gula petani, rapat koordinasi terbatas memutuskan bahwa penjualan gula curah hanya dapat dilakukan oleh Bulog. Keputusan itu ditindaklanjuti dengan surat Menteri Perdagangan RI Nomor 885/ M-DAG/SD/8/2017 dan surat Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri 465/PDN/SD/8/2017 tanggal 21 Agustus 2017.Isi surat itu, hanya Bulog yang dapat menjual gula dalam bentuk curah ke pasar tradisional. Dalam penjualan, Bulog bisa bermitra dengan pelaku usaha lain, tetapi pelaku usaha lain hanya dapat menjual gula kepada konsumen dalam kemasan 1 kilogram. "Perdagangan gula di pasar menjadi tidak adil dan petani yang jadi korbannya," kata Khabsyin.Atas kondisi itu, Dewan Pimpinan Nasional APTRI menganggap surat Menteri Perdagangan dan Dirjen Perdagangan Dalam Negeri melegalkan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Sebab, ketentuan itu dianggap tidak adil bagi pedagang dan memaksa petani menjual gula ke Bulog. Oleh karena itu, APTRI melaporkannya ke Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU) pada 15 September 2017.Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan Tjahja Widayanti menyatakan, pedagang boleh menjual gula curah ke pasar rakyat, tetapi harus bermitra dulu dengan Bulog. Ketentuan itu merupakan tindak lanjut hasil rapat koordinasi terbatas di Kementerian Koordinator Perekonomian pada 15 Agustus 2017.Direktur Kajian Strategis Kebijakan Pertanian Institut Pertanian Bogor Dodik R Nurrochmat berpendapat, pemerintah perlu memikirkan dampak kebijakan bagi kelangsungan usaha tani. Petani semestinya mendapat harga yang pantas atas jerih payahnya selama setahun menanam tebu. Harga merupakan insentif terbaik untuk mendongkrak produksi."Jika terus merugi, petani akan mengonversi kebun tebunya ke tanaman hortikultura atau tanaman pangan yang lebih menguntungkan dibandingkan tebu. Itu kontraproduktif bagi upaya meningkatkan produksi gula dalam negeri," katanya.Meminta kepastianPetani tebu dari Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat tetap meminta pencabutan surat Permendag soal tata niaga gula. Mereka tetap meminta penegasan soal pembebasan dengan pencabutan surat tersebut. Penunjukan Perum Bulog sebagai satu-satunya distributor gula curah ke pasar tradisional dinilai mempersempit pasar petani gula. Penegasan petani menjual bebas gula kepada siapa pun sebenarnya sesuai dengan kesepakatan rapat koordinasi terbatas antara petani tebu dan Kementerian Koordinator Perekonomian. "Namun, penunjukan Perum Bulog sebagai satu-satunya pihak yang bisa menjual gula curah di pasar tradisional merugikan petani," kata Ketua Dewan Pembina APTRI Arum Sabil, Kamis (26/10), di Surabaya, Jatim. Akibatnya, pilihan untuk menjual kepada pihak ketiga sulit dilakukan. Pedagang hanya bisa membeli gula dari Bulog sehingga enggan membeli dari petani."Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia bahkan membentuk satgas pangan untuk mengawal kebijakan tersebut," ujar Arum.Hal yang sama dinyatakan petani tebu di Cirebon. Pembebasan petani bisa menjual gula ke mana saja belum menyelesaikan karut-marut yang terjadi saat ini. Penentuan harga pokok pembelian (HPP) dan revisi harga eceran tertinggi (HET) diyakini Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah APTRI Jabar Agus Safari, jadi solusi tepat memperbaiki tata niaga gula. "Petani merasa dibikin bangkrut oleh Mendag dengan kebijakannya yang tidak konsisten," ujar Agus. Oleh sebab itu, pengamat pertanian yang juga dosen Fakultas Pertanian dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga, Jawa Tengah, Sony Heru Priyanto, Kamis, mengusulkan, pemerintah pusat mesti memberikan subsidi terhadap pembelian komoditas gula agar tujuan stabilisasi harga di pasaran tercapai tanpa merugikan petani. Jika tidak memungkinkan, pemerintah tidak perlu mengintervensi tata niaga gula karena pada praktiknya selama ini berjalan baik. Pemerintah semestinya memberikan subsidi Rp 1.300 per kilogram terhadap patokan harga pembelian Bulog Rp 9.700 per kilogram. Dengan begitu, gula petani dapat terbeli Rp 11.000 per kilogram.(NIK/ETA/SYA/IKI/WHO/MKN)

Editor:
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000