DPR Akan Usulkan Kenaikan Dana Riset Menjadi 2,5 Persen
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·3 menit baca
AMBON, KOMPAS — Anggota Komisi VII DPR akan mengusulkan kenaikan dana riset dari saat ini sebesar 0,01 persen menjadi 2,5 persen dari APBN. Usulan itu akan dimasukkan dalam Rancangan Undang-Undang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi.
Hal itu mengemuka dalam rapat kerja Komisi VII DPR dengan sejumlah pemangku kepentingan di Ambon, Maluku, pada hari Kamis (19/10). Rapat dihadiri sejumlah anggota Komisi VII DPR, akademisi, peneliti pada Pusat Penelitian Laut Dalam Ambon, perwakilan pemerintah daerah, serta Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi.
Pimpinan rombongan Komisi VII, Marlinda Irwanti, mengatakan, besaran persentase itu akan disebutkan di dalam satu pasal RUU tersebut yang secara spesifik disebutkan sebagai anggaran riset. Hal itu akan menjadi dasar dalam pengalokasian anggaran.
Ia menilai, selama ini, sektor riset dikesampingkan setelah dileburkan dengan pendidikan tinggi menjadi satu kementerian. ”Karena bergabung antara Kementerian Ristek dan Dikti (pendidikan tinggi), riset ini agak terpinggirkan karena mereka lebih bicara tentang dikti,” kata Marlinda.
Jika memungkinkan, dapat dibentuk lembaga baru untuk menangani anggaran riset tersebut agar lebih fokus. Anggaran riset yang kini hanya 0,01 persen dari APBN itu dinilai terlalu sedikit dibandingkan dengan tingginya kebutuhan. Banyak potensi yang harusnya dapat digali lewat penelitian.
RUU Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi merupakan usulan dari Kementerian Ristek dan Dikti. RUU itu bertujuan untuk merevisi Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2002 tetang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi.
Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Kebumian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Zainal Arifin mengatakan, minimnya dana riset mengharuskan para peneliti bekerja sama, baik dalam negeri maupun luar negeri. Sebagai contoh, bulan depan, Kepala Pusat Penelitian Laut Dalam Ambon Augy Syahailatua akan berangkat ke China.
Bersama beberapa peneliti dari sejumlah negara di Asia, Augy akan meneliti arus migrasi ikan tuna dari Samudra Pasifik ke sejumlah perairan di Asia Timur dan Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Penelitian semacam itu membutuhkan biaya besar sehingga tidak bisa dikerjakan sendiri oleh peneliti di Indonesia.
Augy menambahkan, banyak misteri di perairan Maluku dan kawasan timur Indonesia yang masih harus diungkap. Dalam satu tahun, anggaran yang diperoleh hanya Rp 18 miliar dari idealnya sekitar 30 miliar. Fasilitas yang tersedia juga minim. Satu kapal penelitian di Pusat Penelitian Laut Dalam Ambon kini tidak bisa digunakan lagi untuk penelitian. Kapal tersebut sudah berusia 20 tahun.
Sementara itu, Dominggus Malle dari Dewan Riset Daerah Maluku berpendapat, riset di Indonesia sangat ketinggalan. Rasio peneliti dengan jumlah penduduk di Indonesia ada 89 per 1 juta penduduk. ”Akibatnya, daya saing kita sangat rendah,” katanya.