Industri Kecil Tolak Sistem Lelang Gula Kristal Rafinasi
Oleh
HARIS FIRDAUS
·3 menit baca
YOGYAKARTA, KOMPAS — Sejumlah pelaku industri kecil dan menengah bidang makanan dan minuman menolak Peraturan Menteri Perdagangan yang mengharuskan jual beli gula kristal rafinasi dilakukan melalui sistem lelang. Pelaku industri kecil itu beralasan, sistem lelang akan membuat harga gula kristal rafinasi naik sehingga akan memberatkan mereka.
Hal itu terungkap dalam pertemuan sejumlah pelaku industri kecil dan menengah (IKM) bidang makanan dan minuman dari beberapa daerah, Selasa (17/10), di Yogyakarta. ”Kami keberatan sekali dengan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) tentang lelang gula rafinasi itu karena menambah biaya produksi kami,” ujar Darsan (51), pemilik usaha pembuatan gula merah asal Kabupaten Ciamis, Jawa Barat.
Gula kristal rafinasi adalah gula yang diproduksi oleh pabrik gula dengan bahan baku gula mentah hasil impor. Selama ini, gula kristal rafinasi tidak boleh dijual ke pasar umum dan hanya boleh dijual ke industri makanan dan minuman sebagai bahan baku produk mereka.
Pada Maret 2017, Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita menerbitkan Permendag Nomor 16/M-DAG/PER/3/2017 tentang Perdagangan Gula Kristal Rafinasi Melalui Pasar Lelang Komoditas. Peraturan itu menyatakan gula kristal rafinasi yang diproses dari gula mentah impor hanya boleh diperdagangkan melalui sistem lelang. Awalnya, proses lelang direncanakan dimulai tahun ini, tetapi kemudian diundur pada Januari 2018 (Kompas, 26/9).
Darsan menjelaskan, sistem jual beli gula kristal rafinasi yang berlaku saat ini sudah cukup baik. Selama ini, Darsan mengaku membeli gula kristal rafinasi langsung ke pabrik gula di Lampung. ”Kami mengakses langsung ke pabrik tanpa orang kedua atau ketiga. Jadi, harga gula kristal rafinasi yang kami dapat relatif terjangkau,” ujarnya.
Darsan mengatakan, saat ini ia membeli gula kristal rafinasi dengan harga Rp 9.000 per kilogram. Harga itu sudah termasuk biaya transportasi hingga Ciamis. ”Kalau kami menggunakan gula kristal putih, harganya lebih mahal, sekitar Rp 10.600 per kg,” ujar Darsan yang mengaku membeli gula kristal rafinasi sebanyak 30 ton per bulan.
Apabila sistem lelang diberlakukan, Darsan khawatir, harga gula kristal rafinasi akan naik. Sebab, pelaku IKM sebagai pembeli masih harus menanggung biaya lelang yang tidak ada sebelumnya. Oleh karena itu, ia berharap aturan mengenai lelang gula kristal rafinasi dibatalkan. ”Sebagai rakyat kecil, kami meminta pemerintah untuk mendengarkan aspirasi kami,” katanya.
Catur Wahyu (35), pemilik usaha pembuatan gula batu di Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, juga menolak Permendag No 16/M-DAG/PER/3/2017. Sebab, selain menaikkan harga gula kristal rafinasi, peraturan itu juga dinilai akan membuat proses pengadaan komoditas tersebut menjadi lebih lama.
”Dengan adanya peraturan soal lelang ini, kami akan dirugikan. Makanya, kami minta aturan itu dibatalkan,” ujar Catur yang tiap bulan membeli gula kristal rafinasi sebanyak 240 ton sebagai bahan baku memproduksi gula batu.
Ketua Umum Forum Transparansi Gula Nasional Supriyanto Sardjowikarto menyatakan, sistem lelang akan membuat mata rantai perdagangan gula kristal rafinasi lebih panjang. Sistem itu juga dikhawatirkan memunculkan makelar yang semakin membuat harga gula kristal rafinasi meningkat.
”Berdasarkan hitung-hitungan kami, kalau sistem lelang diberlakukan, harga gula kristal rafinasi akan naik dari sekarang Rp 9.000 per kg menjadi Rp 10.500 per kg,” kata Supriyanto.
Padahal, Supriyanto menambahkan, alasan Kementerian Perdagangan mewajibkan gula kristal rafinasi dijualbelikan melalui sistem lelang adalah agar IKM bidang makanan dan minuman bisa membeli komoditas itu dengan harga yang kompetitif. ”Kalau harganya naik, berarti tujuan pemerintah itu tidak tercapai,” tuturnya.